Membuat keputusan untuk memecahkan masalah selalu dilatabekangi bayang-bayang kepastian, ketidakpastian, dan risiko. Umumnya manajer mengambil keputusan berdasarkan pengalaman. Saran paling baik : Jangan menunggu sampai problem muncul. Deciding not to decide is a decision. Ini salah satu kiat para manajer. Tapi itu jarang terjadi. Sekecil apapun suatu masalah selamanya akan disusul dengan pengambilan keputusan dalam bentuk tindakan nyata. Menelorkan keputusan adalah tugas pokok seorang manajer. Proses pengambilan keputusan memang selalu diwarnai tiga faktor tadi. Di bawah kondisi yang pasti, boleh dibilang tidak ada kendala yang merintangi. Anda disuguhi informasi yang akurat, hal-hal yang dapat diraba dengan perangkat ukur yang berlaku sehingga hasil dari keputusan itu seakan terlihat jelas. Contoh, dalam keadaan pasar yang normal maka setiap penamabahan stok gudang sebanyak 20% akan terjadi peningkatan penjualan 5%.
Bagaimana bila keputusan itu dibuat di bawah bayang-bayang ketidakpastian dan risiko. Ternyata dua faktor ini lebih banyak mendominasi peta pemecahan masalah manajemen. Di sini, hasil keputusan selalu digambarkan dengan kata-kata: mungkin berhasil, mungkin gagal. Bahkan seringkali manajer tidak mengetahui apa kemungkinan yang bakal terjadi.
Sekian banyak penelitian menyimpulkan, kelemahan para manajer (termasuk lulusan MBA) justru karena mereka menggunakan metode alamiah dan melupakan proses ilmiah dalam membuat keputusan. Secara naluriah, manusia cenderung cepat membuat keputusan tanpa berlama-lama berpikir tatkala dihadapkan pada problem yang mendesak.
Coba simak contoh ini: Anda sedang mengendarai mobil di jalan toll. Kemudian Anda melihat jarum temperatur menunjuk angka tinggi yang disusul oleh mencuatnya asap dari kap mobil Anda tentu Andai segera menepikan mobil. Tindakan selanjutnya? Pasti membuka tutup mesin, mencari air, dari menambahkan air pada tangki radiator. Menghidupkan kembali mesin, dan berjalan mulus. Tiba-tiba problem serupa muncul lagi. Berarti, Anda telah membuang waktu dan mungkin mengadapi masalah lebih berat.
Kekurangan para manajer, sering membuat terapi hanya pada gejala yang nampak langsung, Sumber masalah tadi kemungkinan datang dari radiator yang bocor, tali kipas putus, thermostat rusak, atau jumlah penumpang yang berlebihan. Pada prinsipnya keputusan terdiri dari dua klasifikasi. Keputusan yang diprogramkan dan yang tidak diprogramkan. Keputusan terprogram bersifat rutin dan pengulangan. Seorang manajer, atau katakan sebuah organisasi, dalam hal itu telah mempunyai cara-cara yang sistematis dan mapan dalam menangani permasalahan. Salah satu kategori dari kebijaksanaan terprogram itu, misalnya proses administrasi rumah sakit bila ada pasien baru. Para pembuat keputusan tinggal mengikuti manual yang sudah digariskan.
Keutusan yang tidak terprogram, misalnya memilih lokasi penempatan gudang baru. Pendeknya setiap masalah unik yang jarang sekali atau belum parah muncul dan terliput oleh kebijaksanaan yang sudah disusun perusahaan, tercakup dalam krangka pengambilan keputusan yang bersifat non program menjadi tugas para manajer yang telah memasuki hirarki organisasi puncak.
Sebab itu kebanyakan program pelatihan para top manajer umumnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan membuat keputusan terhadap masalah yang tidak diprogram. Semakin perusahaan mekar, yang dengan sendirinya melahirkan divisi dan unit-unit baru, maka keputusan di tengah krisis lebih sering dihadapi para manajer.
Dalam praktek manajemen, banyak problem datang dengan sendirinya ke hadapan para anajer, dan sebagian harus ditemui sendiri oleh para manajer. Namun tidak semua manajer mampu mengatasi setiap persoalan yang muncul, apalagi mencari permasalahan yang belum nampak. Penting untuk dipelajari, bagaimana menjatuhkan prioritas terhadap klasifikasi berat ringannya problem yang harus ditangani lebih dahulu, mana yang cukup didelegasikan kepada bawahan, mana yangmustidiputuskansendiri.
Sumber : Majalah Eksekutif Edisi Oktober 1987
Sumber : Majalah Eksekutif Edisi Oktober 1987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar