Minggu, 02 Desember 2012

KALIMAT EFEKTIF

A. Pengertian

Kalimat efektif adalah kalimat yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Secara tepat mewakili gagasan pembicara atau penulisnya.

2. menimbulkan gagasan yang sama tepatnya antara pikiran pendengar atau pembaca seperti yang dipikirkan oleh pembicara atau penulisnya.

B. Ciri-Ciri Kalimat Efektif

Ciri-ciri kalimat efektif adalah memiliki kesatuan gagasan,kesejajaran,kehematan, dan penekanan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan keterangan dibawah ini .

1. Kesatuan Gagasan

Kalimat efektif harus memperlihatkan kesatuan gagasan dan mengandung satu ide pokok. Sebuah kalimat dikatakan memiliki kesatuan gagasan apabila subjek,predikat, dan unsur-unsur lainnya saling mendukung dan membentuk kesatuan tunggal.

Contoh :

-          Di dalam keputusan itu merupakan kebijaksanaan yang dapat membantu keselamatan umum.

 

Kalimat tersebut tidak memiliki satu kesatuan kareena tidak didukung oleh kehadiran subjek. Untuk mengefektifkan kalimat tersebut, frase depan di dalam harus dihilangkan. Dengan demikian, kalimat itu menjadi :

-          Keputusan itu merupakan kebijaksanaan yang dapat membantu keselamatan umum.

 

2. Kesejajaran

Kesejajaran yang dimaksud adalah penggunaan bentukan kata atau frase imbuhan yang memiliki kesamaan, baik dalam fungsi maupun bentuknya. Jika bagian kalimat itu menggunakan kata kerja berimbuhan di-, bagian kalimat yang lainnya pun harus menggunakan di- pula.

Contoh :

-          Kakak menolong anak itu dengan dipapahnya ke pinggir jalan.

 

 

Kalimat  tersebut tidak efektif karena tidak memiliki kesejajaran antara predikat-predikatnya. Kalimat itu harus diubah menjadi :

-          Kakak menolong anak itu dengan memapahnya ke pinggir jalan.

-          Anak itu ditolong kakak dengan dipapahnya ke pinggir jalan.

 

3. Kehematan

Kalimat efektif tidak boleh menggunakan kata-kata yang tidak perlu. Setiap kata haruslah memiliki fungsi yang jelas. Penggunaan kata-kata yang berlebihan justru akan memperlemah dan mengaburkan maksud dari kalimat itu.

Contoh :

-          Bunga-bunga mawar,anyelir,dan melati sangat disukainya.

 

Pemakaian kata bunga-bunga dalam kalimat di atas tidak perlu. Dalam kata yang mawar,anyelir,dan melati terkandung makna bunga.

4. Penekanan

Bagian kalimat yang dipentingkan perlu ditonjolkan dari unsur-unsur yang lain. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk member penekanan itu adalah berikut ini :

a. Mengubah posisi dalam kalimat,yakni dengan  cara meletakkan bagian penting di depan kalimat.

Contoh :

-          Harapan kami adalah agar soal ini dapat kita bicarakan lagi pada kesempatan lain.

 

b. Menggunakan partikel ; penekanan bagian kalimat dapat menggunakan partikel –lah,pun,dan –kah.

Contoh :

-          Kami pun turut dalam kegiatan itu.

 

c. Menggunakan repetisi, yakni dengan mengulang-ulang kata yang dianggap penting.

d. Menggunakan pertentangan, yakni menggunakan kata yang bertentangan atau berlawanan maksudnya dalam bagian kalimat yang ingin ditegaskan.

Contoh :

-          Ia tidak menghendaki perbaikan yang sifatnya parsial,tetapi total dan menyerah.

 

Rujukan :

Judul buku : Intisari TATA BAHASA INDONESIA.

Penerbit : Pustaka Setia

Jumat, 02 November 2012

Ejaan dalam Peristilahan


A. Ejaan Fenomenik

            Penulisan istilah pada umumnya berdasarkan pada ejaan fenomenik.Artinya hanya satu bunyi yang berfungsi dalam bahasa Indonesia yang dilambangkan dengan huruf.

Misalnya :

-          presiden  bukan  president

-          standar   bukan   standart

B. Ejaan Etimologi

            Untuk menegaskan makna yang berbeda, istilah yang homonym dengan kata lain dapat ditulis dengan mempertimbangkan etimologinya, yakni sejarahnya. Sehingga bentuknya berlainan walaupun lafaalnya mungkin sama.

Misalnya :

-          bank        dengan    bang

-          sangksi    dengan    sangsi

C. Transliterasi

            Pengejaan istilah juga dapat dilakukan menurut aturan trasliterasi. Yakni penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, lepas dari bunyi lafal yang sebenarnya. Hal itu misalnya, diterapkan menurut anjuran International Organization for Standardization(ISO) pada huruf arab (rekomendasi ISO-R 2333), Yunani (rekomendasi ISO-R  315), Siril(Rusia) (rekomendasi ISO-R 9) yang dialihkan ke huruf latin.

Misalnya :

-          yaum ul-adha              (hari kurban)

-          suksma                                    (sukma)

-          psyche                         (jiwa,batin)

-          Moskva                                    (Moskwa,Moskou)

D. Ejaan Nama Diri

            Ejaan nama diri,termasuk merek dagang yang di dalam bahasa aslinya ditulis dengan huruf latin,tidak dirubah.

Misalnya : Baekelund,Cannizaro,Aquadag,Daeron.

            Nama diri yang dibentuk aslinya ditulis dengan huruf lain dieja menurut rekomendasi dari ISO,ejaan Inggris yang lazim,atau ejaan Pinyin(Cina).

Misalnya : Keops, Sokrates, Dimitri Ivanovic Mendellev, Anton Cekhow, Mao Zedong, Beijing.

E. Penyesuaian Ejaan

            Dalam perkembangannya bahasa Indonesia menyerap unsur pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing, seperti Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda, dan Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya unsur serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas tiga golongan besar.

            Pertama, unsur-unsur yang sudah lama terserap ke dalam bahasa Indonesia yang tidak perlu lagi diubah ejaannya. Misalnya, sirsak, iklan, otonomi, dongkrak, pikir, paham, aki.

            Kedua, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia,seperti shuttle cock, real estate. Unsur-unsur ini dipakai di dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing.

            Ketiga, unsur yang pengucapannya dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaan bahasa asing hanya dibuah sepenuhnya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk aslinya.

Kaidah penyesuaian ejaan bagi unsur serapan semacam itu sebagai berikut :

aa (Belanda) menjadi a

paal                 pal

baal                 bal

octaaf              oktaf

E. Penyesuaian Huruf Gugus Konsonan Asing

            Huruf gugus konsonan pada istilah asing yang tidak diterjemahkan dan diterima ke dalam bahasa Indonesia, sedapat-dapatnya dipertahankan bentuk visualnya.

a.       Huruf gugus konsonan di awal atau di tengah

fl-        : flexible           menjadi           fl-        : fleksibel

fr-        : frequenci                               fr-        : frekuensi

phl-      : phlegmatic                             fl-        : flegmatik

phr-      : schizophrenia                        fr-        : skizofrenia

 

b.      Huruf gugus konsonan akhir

-ck       : block              menjadi           -k         : blok

-ct        : contract                                 -k         : kontrak

-nt        : gradient                                 -n         : gradien

 

Nama Penulis  : Anggi Sopiandi (10110835)

                           Ferras Satrio (12110752)

 

Rujukan :

Judul Buku:

PEDOMAN UMUM EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN & PEDOMAN UMUM PEMBENTUK ISTILAH.

Penerbit : PUSTAKA SETIA Bandung.

Kamis, 04 Oktober 2012

Pentingnya Keberadaan “HAKI”


          Pada saat ini keberadaan HAKI atau Hak Atas Kekayaan intelektual tak bisa kita pungkiri lagi bahwa sangat penting untuk orang orang diluar sana yang bekerja di dalam bidang teknologi, seni,budaya dan sebagainya. Hal ini dikarenakan pada zaman atau masa ini banyak orang yang mengakui hasil karya orang lain yang sebenarnya itu bukan hasil karya yang dia buat sendiri.Atau biasa yang sering kia ketahui adalah tindakan plagiarisme,yaitu suatu tindakan penjiplakan/pembajakan hasil karya orang lain.

         Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua kategori yaitu: Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Sedangkan Hak Kekayaan Industri meliputi Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman.


           Hak cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta, yaitu "seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi". Perbedaan antara hak cipta (copyright) dengan hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighboring rights) terletak pada subyek haknya.


           
             Pada hak cipta subyek haknya adalah pencipta sedangkan pada hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta subyek haknya adalah artis pertunjukan terhadap penampilannya, produser rekaman terhadap rekaman yang dihasilkannya, dan organisasi penyiaran terhadap program radio dan televisinya. Baik hak cipta maupun hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta di Indonesia diatur dalam satu undang-undang, yaitu Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) UU .

           
             Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
            Aspek teknologi juga merupakan faktor yang sangat dominan dalam perkembangan dan perlindungan Hak Kekaayaan Intelektual. Perkembangan teknologi informasi sendiri beegitu cepat saat ini sehingga menyebabkan dunia terasa semakin sempit. Informasi dapat dengan mudah dan cepat tersebar ke seluruh penjuru dunia. Pada keadaan seperti inilah HAKI menjadi sanagt penting karena disebabkan HAKI merupakan hak yang dapat digunakan untuk melindungi investasi dan dapat dialihkan haknya.Pada keadaan seperti ini Hak Kekayaan Intelektual

            Jadi bagi para pekerja yang bekerja di bidang yang rentan untuk dilakukannya pembajakan/penjiplakan hasil karya mereka oleh orang yang tidak bertanggungjawab diluar sana, penting sekali untuk memiliki HAKI atau Hak Atas Kekayaan Intelektual untuk hasil karya yang mereka buat atau yang mereka ciptakan. Hal ini untuk menghindari dari kejadian yang tidak diinginkan seperti pembajakan hasil karya mereka.Karena itu sangat merugikan sekali bagi mereka yang sudah berusaha keras untuk menciptakan suatu karya yang mungkin saja bisa bernilai tinggi tapi dengan mudahnya di tiru atau di akui oleh orang lain.

Sehingga pada akhirnya nanti akan membawa bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih beradab lagi, dan bangsa ini bisa menghormati/menghargai hasil karya ciptaan orang lain.Akan tetapi peran serta dukungan masyarakat tetap menjadi kunci sukses untuk penegakan HAKI secara keseluruhan.

 

Sabtu, 09 Juni 2012

Upacara Minum The di Jepang

Upacara minum teh adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.

Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.

Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh(chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.

Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.

Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.

Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.

 Sejarah

Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching atau Chakyō .Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.

Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōki menulis tentang Kaisar Saga yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi di tahun 815. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.

Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh Oolong yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tidak sempat menjadi populer.

Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yang dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual. Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dengan makin meluasnya kebiasaan minum teh.

Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yang diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan menjadi populer sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang yang diminum.

Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti Tang dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul upacara minum teh aliran Wabicha.

Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yang bernama Sen no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan samurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō Ujisato, Hosokawa Tadaoki, Makimura Hyōbu, Seta Kamon, Furuta Shigeteru, Shigeyama Kenmotsu, Takayama Ukon, Rikyū Shichitetsu. Selain itu, dari aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yang dipimpin oleh daimyo yang piawai dalam upacara minum teh seperti Kobori Masakazu, Katagiri Sekijū dan Oda Uraku. Sampai saat ini masih ada sebutan Bukesadō untuk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan Daimyōcha untuk upacara minum teh gaya daimyō.

Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.

Kalangan penduduk kota yang berminat mempelajari upacara minum teh disambut dengan tangan terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: Omotesenke, Urasenke dan Mushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke.

Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur hirarki antara guru dan murid dalam seni tradisional Jepang.

Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenke generasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yang disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid secara bersama-sama dengan metode Shichijishiki.

Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak secara serius seperti sedang bermain-main.

Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.

Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dengan penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta dasar filosofi yang bersifat abstrak.

Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada teh sencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.

Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.

Di tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah cha no yu atau Chanoyu.

Kuil Itsukushima

Kuil Itsukushima adalah kuil Shinto(jinja) yang terdapat di pulau Itsukushima(pulau Miyajima), kota Hatsukaichi, Prefektur Hiroshima, Jepang. Didirikan lebih dari 1.400 tahun yang lalu, kuil Itsukushima merupakan salah satu situs peninggalan budaya Situs Warisan Dunia UNESCO yang terdaftar sejak tahun 1996.

Beberapa bangunan yang berada di lingkungan kuil Itsukushima dan benda-benda pusaka yang dimiliki kuil Itsukushima termasuk di antaranya sutra Heike Nōkyō terdaftar sebagai Pusaka Nasional Jepang. Heike Nōkyō yang disimpan kuil
Itsukushima merupakan persembahan dari klan Taira pada tahun 1164.

Pada zaman dulu, pulau Itsukushima merupakan pulau suci yang tidak boleh dimasuki sembarang orang, sehingga konstruksi kuil serupa bangunan dermaga yang didirikan di teluk pulau Itsukushima.

Bangunan Torii berwarna oranye menyala yang terlihat bagaikan mengambang di tengah laut merupakan ciri khas kuil Itsukushima sekaligus salah satu tujuan pariwisata yang paling populer di Jepang. Torii terlihat mengambang di tengah laut ketika air pasang, tapi bisa dicapai dengan berjalan kaki ketika air surut.

Pada saat air laut sedang surut, pantai di sekitar bangunan Torii merupakan tempat populer untuk memunguti kerang yang bisa dimakan. Di malam hari, bangunan kuil dan Torii bermandikan cahaya dari lampu-lampu sorot yang dipasang di sekitar pantai.

Pemandangan bangunan Torii dengan latar belakang Gunung Misen merupakan salah satu dari Tiga Pemandangan Terindah di Jepang bersama-sama dengan jalur pasir pantai di Amanohashidate dan pemandangan Teluk Matsushima.

Di dalam lingkungan kuil juga terdapat panggung pentas Noh.

Sejarah


Kuil pertama kali dibangun pada abad ke-6, sedangkan bangunan kuil seperti yang terlihat sekarang sudah ada sejak tahun 1168. Kuil pertama kali dibangun dengan dana pembangunan dari pemimpin militer Jepang yang bernama Taira no Kiyomori. Kuil Itsukushima kemudian dijadikan tempat pemujaan oleh klan Heike.

Kuil Itsukushima terus mengalami berkali-kali perbaikan sejak akhir zaman Heian, sedangkan pemugaran secara besar-besaran pernah dilakukan oleh Mōri Motonari setelah menaklukkan Sue Harukata dalam Pertempuran Itsukushima di tahun 1555.

Pada zaman dulu, pulau Itsukushima merupakan pulau terlarang bagi orang biasa. Kuil dibangun di atas pantai di teluk pulau Itsukushima agar orang biasa yang tidak boleh menginjakkan kaki di pulau bisa datang. Menurut catatan sejarah, orang biasa yang ingin berdoa harus datang ke pulau dengan perahu dan memasuki kuil dari pintu gerbang berupa bangunan Torii.

Bangunan Torii di kuil Itsukushima telah ada sejak tahun 1168, tapi Torii yang ada sekarang merupakan bangunan tahun 1875. Torii disangga empat tiang penopang agar berdiri stabil di atas pasir pantai. Seluruh konstruksi Torii berada di atas tanah, tanpa fondasi atau bagian yang dibenamkan ke dalam tanah. Torii dapat berdiri tegak hanya dengan mengandalkan bobot bangunan yang berketinggian 16 meter.

Kuil Itsukushima dianggap perlu dijaga kemurniannya sehingga kuil tidak menerima pencatatan kematian dan perkawinan hingga tahun 1878. Pemakaman merupakan perbuatan terlarang di pulau Itsukushima.


Makanan Jepang

Masakan Jepang adalah makanan yang dimasak dengan cara memasak yang berkembang secara unik di Jepang dan menggunakan bahan makanan yang diambil dari wilayah Jepang dan sekitarnya. Dalam bahasa Jepang, makanan Jepang disebut Nihonshoku atau Washoku. Sushi, Tempura, Shabu-shabu, dan Sukiyaki adalah makanan Jepang yang populer di luar Jepang, termasuk di Indonesia. Masakan dan makanan Jepang tidak selalu harus berupa "makanan yang sudah dimakan orang Jepang secara turun temurun." Makanan orang Jepang berbeda-beda menurut zaman, tingkat sosial, dan daerah tempat tinggal. Cara memasak masakan Jepang banyak meminjam cara memasak dari negara-negara Asia Timur dan negara-negara Barat. Di zaman sekarang, definisi makanan Jepang adalah semua makanan yang dimakan orang Jepang dan makanan tersebut bukan merupakan masakan asal negara lain.

Dalam arti sempit, masakan Jepang mengacu pada berbagai berbagai jenis makanan yang khas Jepang. Makanan yang sudah sejak lama dan secara turun temurun dimakan orang Jepang, tapi tidak khas Jepang tidak bisa disebut makanan Jepang. Makanan seperti Gyudon atau Nikujagu merupakan contoh makanan Jepang karena menggunakan bumbu khas Jepang seperti shōyu, dashi dan mirin. Makanan yang dijual rumah makan Jepang seperti penjual soba dan warung makan Kappō juga disebut makanan Jepang. Sebagian orang menganggap makanan yang mengandung daging sapi tidak bisa dianggap sebagai makanan Jepang karena kebiasaan makan daging baru dimulai zaman Restorasi Meiji sekitar 130 tahun lalu. Menurut orang di luar Jepang, berbagai masakan mengandung daging sapi seperti Sukiyaki dan Gyudon juga dimasukkan ke dalam kategori makanan Jepang. Dalam arti luas, bila masakan yang dibuat dari bahan makanan yang baru dikenal orang Jepang juga ikut digolongkan sebagai makanan Jepang, maka definisi masakan Jepang adalah makanan yang dimasak dengan bumbu yang khas Jepang.

Masakan Jepang sering merupakan perpaduan dari berbagai bahan makanan dan masakan dari berbagai negara. Parutan lobak yang dicampur saus sewaktu memakan bistik atau hamburg steak, dan selada dengan dressing parutan lobak merupakan contoh perpaduan makanan Barat dengan penyedap khas Jepang. Saus spaghetti yang dicampur mentaiko, tarako, natto, daun shiso atau umeboshi merupakan contoh makanan Barat yang dinikmati bersama bahan makanan yang memiliki rasa yang sudah akrab dengan lidah orang Jepang. Bistik dengan parutan lobak sebenarnya tidak dapat disebut sebagai makanan Jepang melainkan bistik ala Jepang (Wafū sutēki). Berdasarkan aturan ini, istilah "Wafū" ,digunakan untuk menyebut makanan yang lazim ditemukan dan dimakan di Jepang, tapi dimasak dengan cara memasak dari luar Jepang.

Berdasarkan aturan Wafū, beberapa jenis makanan sulit digolongkan sebagai makanan Jepang karena merupakan campuran antara makanan Jepang dan makanan asing:

Makanan Barat yang dicampur bahan makanan yang unik Jepang, seperti Sarada Udon (selada adalah makanan Barat tapi dicampur udon yang khas Jepang), kari, dan Anpan(roti berasal dari Barat berisi ogura yang khas Jepang).

Makanan khas Jepang yang berasal dari luar negeri tapi dibuat dengan resep yang sudah diubah sesuai selera lokal, seperti Ramen dan Gyōza. 

Makanan yang berdasarkan bahan dan cara memasak tidak sulit diputuskan harus dimasukkan ke dalam kategori makanan Barat atau makanan Jepang, seperti Pork Ginger dan Butashōgayaki keduanya menunjuk pada makanan yang sama.

Sebagian besar ahli kuliner menganggap masakan Jepang mudah sekali dibedakan dengan makanan tradisional Korea dan Tiongkok yang bertetangga, walaupun beberapa makanan Korea juga mendapat pengaruh dari masakan Jepang. Di Korea juga dikenal Futomakizushi (disebut Kimbab), sup miso, dan asinan lobak (takuan) yang merupakan makanan khas Jepang.

Ciri khas


Bahan makanan


Pada umumnya, bahan-bahan untuk masakan Jepang berupa: beras, hasil pertanian (sayur-sayuran dan kacang-kacangan), dan makanan laut. Bumbu berupa dashi (kaldu) yang dibuat dari konbu, ikan dan jamur shiitake, ditambah miso dan shōyu. Berbeda dengan masakan negara-negara lain, makanan Jepang sama sekali tidak menggunakan bumbu berupa rempah-rempah dari biji-bijian (merica) atau penyedap yang mengandung biji (seperti cabai) yang harus ditumbuk. Masakan Jepang juga tidak menggunakan bumbu yang berbau tajam seperti bawang putih. Kacang kedelai merupakan bahan utama makanan olahan, dan penyedap yang digunakan biasanya berupa sayur-sayuran beraroma harum yang dipotong-potong halus atau diparut. Masakan Jepang umumnya rendah lemak, tapi mengandung kadar garam yang tinggi.

Bumbu


Masakan Jepang mengenal 5 bumbu utama yang harus dimasukkan secara berturutan sesuai urutan sa-shi-su-se-so yang merupakan singkatan dari:

gula pasir (satō)

garam (shio)

cuka (su)

shōyu (seuyu: ejaan zaman dulu untuk shōyu)

miso (miso).

Sesuai dengan peraturan sa-shi-su-se-so, gula pasir adalah bumbu yang dimasukkan pertama kali, diikuti garam, cuka, kecap asin, dan miso.