Minggu, 08 April 2012

Appreciative Inquiry

Appreciative Inquiry merupakan sebuah pendekatan sosial konstruksionis terhadap perubahan dan pengembangan organisasi. Appreciative Inquiry dapat disebut sebagai suatu metode riset aksi (action research) dan sekaligus teori tentang bagaimana realitas organisasi terbentuk dan berkembang . Sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan. Appreciative berasal dari kata dasar appreciate yang berarti menghargai, suatu tindakan memahami sesuatu yang terbaik dalam individu atau dunia disekitarnya, memberi dukungan terhadap kelebihan, kesuksesan dan potensi di masa lalu maupun masa kini. Sementara, inquiry berasal dari kata dasar inquire, yang berarti tindakan mengeksplorasi dan menemukan; mengajukan pertanyaan untuk memperluas pandangan terhadap kemungkinan dan potensi baru. Sementara, pengertian Appreciative Inquiry yang diajukan oleh pengembangnya, Cooperrinder  adalah sebagai berikut:
…is a worldview, a paradigm of thought and understanding that holds organizations to be affirmative systems created by humankind as solutions to problems. It is a theory, a mindset, and an approach that leads to organizational learning and creativity’.
Appreciative Inquiry menjadi sangat populer dan dipraktekkan di berbagai wilayah dunia , seperti untuk mengubah budaya sebuah organisasi, melakukan transformasi komunitas, menciptakan pembaharuan organisasi, mengarahkan proses merger dan akusisi, dan menyelesaikan konflik . Appreciative Inquiry digunakan pula untuk membentuk tim kerja . Beberapa perusahaan yang menerapkan Appreciative Inquiry dalam melakukan pengembangan dan perubahan organisasi diantaranya adalah Nokia, McDonald, Verizon, Hunter Duoglas, US Navy, Cap Gemini Ersnt & Young, dan British Pretoleum.
Sementara itu, Chapagai menggunakan Appreciative Inquiry untuk memberdayakan komunitas pinggiran di Nepal . Bahkan, Appreciative Inquiry digunakan untuk melakukan perubahan kota Chicago, upaya membangun pemimpin religius untuk menciptakan level baru kerja sama dan perdamaian bekerja sama dengan Dalai Lama . Dalam dunia pendidikan, Appreciative Inquiry digunakan untuk perubahan budaya, penyusunan rencana strategis dan perubahan proses pembelajaran .
Berbeda dengan intervensi perubahan organisasi yang lain, Appreciative Inquiry menolak menggunakan paradigma penyelesaian persoalan (problem solving approach). Cooperrider  mengkritik pendekatan penyelesaian masalah karena bersifat menyakitkan (selalu bertanya kepada orang menoleh kebelakang untuk mencari penyebab di masa lalu); jarang menghasilkan visi baru (tidak berupaya memperluas pengetahuan mengenai kondisi ideal yang lebih baik tetapi lebih berupaya menghilangkan gap antara apa yang senyatanya dengan yang seharusnya); dan memunculkan sikap defensif (“itu bukan masalahku tetapi masalahmu”) dan membuat tidak percaya diri untuk melakukan tindakan positif. Ketika organisasi berusaha mengatasi persoalan tercipta persoalan lebih banyak persoalan, atau persoalan yang sama sebenarnya tidak hilang .
Asumsi dasar Appreciative Inquiry adalah organisasi bukanlah persoalan yang harus diselesaikan tetapi adalah pusat kapasitas hubungan yang tak terbatas, hidup dengan imajinasi tak terhingga, terbuka, tak tentu dan pada dasarnya merupakan sebuah misteri (Cooperrinder dan Barrett, 2002 dalam Gergen dkk, 2004, Cooperrinder dan Srivastva, 1987 dalam Thatchenkery, 1999). Appreciative Inquiry menggali yang terbaik dari pengalaman individu guna menyediakan sebuah kekuatan untuk mengimajinasikan apa yang mungkin terjadi.
Perbedaan antara kedua pendekatan tersebut terletak pada cara pandang terhadap fenomena yang dihadapi. Pendekatan penyelesaian masalah memandang suatu fenomena sebagai masalah yang harus diperbaiki tanpa mempertanyakan tujuan atau visi dalam tingkatan lebih tinggi. Sementara Appreciative Inquiry memandang suatu fenomena lebih positif, sebagai suatu pijakan untuk mencapai tujuan atau visi yang lebih tinggi.
Secara sederhana, perbedaan tersebut dapat dianalogikan dengan perbedaan pandangan terhadap sebuah gelas yang berisi air setengah penuh, Pendekatan penyelesaian masalah akan mengatakan gelas itu setengah kosong. Pendekatan ini memandang suatu fenomena secara negatif, dan kekurangan (deficit). Kondisi tersebut akan membuat individu dan organisasi merasa kekurangan, merasa lemah, merasa malu dan tidak bangga akan apa yang telah dikerjakan. Lahirlah upaya saling menyalahkan satu sama lain, baik antar individu maupun antar bagian atau unit kerja. Penyelesaian yang ditawarkan adalah perbaikan terhadap fenomena yang yang negatif atau bermasalah tersebut. Perbaikan demi perbaikan terus dilakukan dengan sepenuh energi sehingga kehabisan energi untuk merefleksikan mengenai tujuan dasar atau visi yang akan dicapai.
Sementara itu, Appreciative Inquiry akan mengatakan gelas itu setengah penuh. Pendekatan ini memandang suatu fenomena yang sama secara positif, dan berkecukupan. Individu akan memandang sisi positif diri dan organisasinya, sehingga merasa bangga, percaya diri dan yakin untuk melakukan segala sesuatunya, mengaktualisasikan secara maksimal potensi dirinya. Solusi yang ditawarkan bukannya terfokus pada sisi negatif individu atau organisasi, tetapi berupaya melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk terus meraih visi yang ingin dicapai.
Tindakan yang dilakukan antara pendekatan penyelesaian masalah bisa jadi sama dengan yang dilakukan pendekatan Appreciative Inquiry. Semisal, mengisi gelas yang dikemukakan di awal tadi. Akan tetapi, pengisian gelas itu akan dilandasi semangat yang berbeda. Pendekatan penyelesaian masalah memaknai sebagai upaya mengisi kekurangan, Appreciative Inquiry memaknai sebagai upaya mewujudkan mimpi masa depan yang lebih baik.
Appreciative Inquiry berpijak pada hipotesis heliotropic yaitu organisasi berkembang sebagaimana tumbuhan yang tumbuh berkembang mengarah kepada sesuatu yang memberi mereka kehidupan dan energi. Begitu pula dengan organisasi yang tumbuh berkembang mengarah kepada image paling positif yang diyakini sistem sosial tersebut (Cooperrider, 1990 dalam Bushe, G.R, 2001, Elliott C., 1999).
Sumber :
Burke, R.M. (2001). Appreciative Inquiry: A Literature Review.
Bushe, G.R. (1998). Appreciative Inquiry with Teams.
Bushe, G.R. (2001). Five Theories of Change Embedded in Appreciative Inquiry.
Bushe, G.R. dan Kassam, A.F. (2005). When is Appreciative Inquiry Transformational
Cooperrider, D.L. dan Whitney D. (2001), A positive revolution in change: appreciative inquiry, dalam Robert T. Golembiewski (ed.), The handbook of organizational behavior, second edition, New York: Marcel Decker.
der Haar, D.V. & Hosking, D.M. (2004). Evaluating Appreciative Inquiry: a relational constructionist perspective diterbitkan di Human Relations, 57, 8, 1017-1036, 2004.
Whitney, D., Cooperrider, D.L., Garrison M.E., Moore, J.P. (tanpa tahun). Launching a Positive Revolution.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar