Minggu, 11 Mei 2014

Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik



Undang Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) merupakan undang-undang yang di berlakukan untuk setiap orang (tanpa memandang suku, ras, dan sosial ekonomi) yang bertujuan untuk menghormati hak-hak cipta milik orang lain, terutama bagi para pelaku dunia maya yang menggunakan jasa internet dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, untuk seseorang yang telah melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, memiliki akibat hukum baik di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia serta merugikan kepentingan Indonesia.
Dengan diundangkannya Undang-Undang ITE ini, sebagai bukti bahwa pemerintah Indonesia serius untuk melindungi segala kegiatan dan usaha yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik.
Dengan demikian, semestinya siapapun memiliki tanggung jawab yang sama untuk senantiasa berhati-hati. Hal ini dilakukan agar kegiatan, penyebaran informasi, dan proses transaksi elektronik yang melawan hukum Indonesia seperti tercantum dalam Undang-Undang ITE dapat diantisipasi sehingga tidak merugikan pribadi dan kepentingan Indonesia secara lebih luas. Diharapkan mereka yang terbiasa dengan dunia internet dapat memperhatikan dengan sekasama isi dari undang-undang ini, dan mampu menjalankankannya agar kelak tidak terjadi kesalahan ataupun bersinggungan dengan hukum di kemudian hari.
Secara Formal
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Pengertian yang ada dalam undang-undang :
  • Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  • Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
  • Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
  • Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  • Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
  • Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
  • Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
  • Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
  • Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
  • Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
  • Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.
  • Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
  • Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
  • Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
  • Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
  • Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
  • Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
  • Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
  • Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
  • Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
  • Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
  • Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
  • Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu “pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik” dan “pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang”. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik.
Beberapa materi yang diatur, antara lain:
  • Pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);
  • Tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE);
  • Penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE);
  • Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE);
Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
  • Konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
  • Akses ilegal (Pasal 30);
  • Intersepsi ilegal (Pasal 31);
  • Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
  • Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
  • Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);
Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :
  • Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
  • Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
  • UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
  • Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
  • Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
  • Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan).
  • Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan).
  • Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti).
  • Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking).
  • Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi).
  • Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia).
  • Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?)).
  • Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?)).
Ruang Lingkup Undang-Undang ITE
Ruang Lingkup Undang-Undang ITE ini secara tegas dalam pandangan hukum mengatur segala perlindungan hukum yang terjadi akibat memanfaatkan internet sebagai media, baik memanfaatkan informasi maupun melakukan berbagai macam transaksi.
Dampak dari pelanggaran atau perbuatan melawan hukum terhadap Undang-Undang ITE ini diatur pula segala bentuk ancaman hukum. Dengan demikian, pelaku bisnis yang memanfaatkan media internet maupun masyarakat luas yang memanfaatkan internet mendapat kepastian hukum. Kepastian hukum ini, di antaranya dengan tanda tangan digital dan berbagai macam bukti elektronik sebagai alat bukti yang bisa diajukan di depan pengadilan.
Dengan adanya kepastian hukum diharapkan dapat menghindari segala perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan transaksi elektronik. Transaksi elektronik inilah yang menyebabkan konsumen baik perorangan maupun lembaga, dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum sehingga dapat dijerat dengan sanksi hukum.
Diberlakukannya Undang-Undang ITE ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia merupakan hasil penyesuaian sebuah tim atas nama pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Prof. Ahmad M. Ramli, SH.
Sementara kedua naskah materi Undang-Undang ITE ini bersumber dari tim yang berbeda, yaitu tim Universitas Indonesia yang ditunjuk oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan tim Universitas Padjajaran yang ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi.
Pada pelaksanaannya, tim Universitas Padjajaran bekerja sama dengan para ahli dari Institut Teknologi Bandung yang kemudian menghasilkan naskah akademis berjudul RUUPTI kependekan dari Rancang Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi. Kedua materi dari tim ahli tersebut kemudian menjadi RUU ITE yang setelah disyahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang ITE.
Beberapa hal yang yang harus diperhatikan sehubungan dengan adanya UU ITE ini, yaitu :
Undang-undang ini pada dasarnya membahas tentang Informasi & Transaksi di Dunia Maya yang diterbitkan pada 25 Maret 2008 dengan cakupan meliputi globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-Undang ini marupakan undang-undang yang dinilai mempunyai sisi positif dan negatif.
Sisi Positif UU ITE
Berdasarkan dari pengamatan para pakar hukum dan politik UU ITE mempunyai sisi positif bagi Indonesia. Misalnya memberikan peluang bagi bisnis baru bagi para wiraswastawan di Indonesia karena penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia. Otomatis jika dilihat dari segi ekonomi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain pajak yang dapat menambah penghasilan negara juga menyerap tenaga kerja dan meninggkatkan penghasilan penduduk.
UU itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang merugikan, memberikan perlindungan hukum terhadap transaksi dan sistem elektronik serta memberikan perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi misalnya transaksi dagang. Penyalahgunaan internet kerap kali terjadi seperti pembobolan situs-situs tertentu milik pemerintah. Kegiatan ekonomi lewat transaksi elektronik seperti bisnis lewat internet juga dapat meminimalisir adanya penyalahgunaan dan penipuan.
UU itu juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di luar Indonesia dapat diadili. Selain itu, UU ITE juga membuka peluang kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet. Masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang kurang tersentuh adanya internet. Undang-undang ini juga memberikan solusi untuk meminimalisir penyalahgunaan internet.
Sisi Negatif UU ITE
Selain memiliki sisi positif UU ITE ternyata juga terdapat sisi negatifnya. Contoh kasus Prita Mulyasari yang berurusan dengan Rumah Sakit Omni Internasional juga sempat dijerat dengan undang-undang ini. Prita dituduh mencemarkan nama baik lewat internet. Padahal dalam undang-undang konsumen dijelaskan bahwa hak dari konsumen untuk menyampaikan keluh kesah mengenai pelayanan publik. Dalam hal ini seolah-olah terjadi tumpang tindih antara UU ITE dengan UU Konsumen. UU ITE juga dianggap banyak oleh pihak bahwa undang-undang tersebut membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan menghambat kreativitas dalam berinternet. Padahal sudah jelas bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengeluarkan pendapat.
Undang-undang ini menimbulkan suatu polemik yang cukup panjang. Maka dari itu muncul suatu gagasan untuk merevisi undang-undang tersebut.
Ada sejumlah pasal yang melarang penyebaran informasi palsu misalnya melalui media pesan elektronik. Antara lain:
Kontroversi Yang disebabkan beberapa kelemahan pada UU ITE
  • UU ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambar kreativitas dalam ber-Internet, terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen), karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman pidana untuk ketiganya pun tidak main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah. Tambahan lagi, dalam konteks pidana, ketiga delik ini berkategori delik formil, jadi tidak perlu dibuktikan akan adanya akibat dianggap sudah sempurna perbuatan pidananya. Ketentuan delik formil ini, di masa lalu sering digunakan untuk menjerat pernyataan-pernyataan yang bersifat kritik. Pasal-pasal masih dipermasalahkan oleh sebagian bloger Indonesia.
  • Belum ada pembahasan detail tentang spamming. Dalam pasal 16 UU ITE mensyaratkan penggunaan ’sistem elektronik’ yang aman dengan sempurna, namun standar spesifikasi yang bagaimana yang digunakan? Apakah mengoperasikan web server yang memiliki celah keamanan nantinya akan melanggar undang-undang?
  • Masih terbuka munculnya moral hazard memanfaatkan kelemahan pengawasan akibat euforia demokrasi dan otonomi daerah, seperti yang kadang terjadi pada pelaksanaan K3 dan AMDAL.
  • Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya? Ini sejalan dengan kontroversi besar pada pembahasan undang-undang anti pornografi.
  • Ada masalah yurisdiksi hukum yang belum sempurna. Ada suatu pengaandaian dimana seorang WNI membuat suatu software kusus pornografi di luar negeri akan dapat bebas dari tuntutan hukum.
UU ITE di Nilai Mengandung Pasal Karet
Pasal-pasal yang dinilai mengandung pasal karet adalah Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik. “Pasal-pasal itu malah menciptakan ketidakpastian hukum.” Pasal tersebut mengatur sanksi hingga enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar untuk dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik. Hukuman itu jauh lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana yang sama namun diatur dalam Pasal 30 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal ini bias, karena seperti kita ketahui bahwa dunia maya merupakan wilayah publik sehingga setiap orang berhak menyebarkan informasi
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar