Sabtu, 09 Juni 2012

Upacara Minum The di Jepang

Upacara minum teh adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.

Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.

Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh(chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.

Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.

Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.

Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.

 Sejarah

Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching atau Chakyō .Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.

Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōki menulis tentang Kaisar Saga yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi di tahun 815. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.

Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh Oolong yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tidak sempat menjadi populer.

Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yang dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual. Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dengan makin meluasnya kebiasaan minum teh.

Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yang diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan menjadi populer sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang yang diminum.

Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti Tang dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul upacara minum teh aliran Wabicha.

Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yang bernama Sen no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan samurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō Ujisato, Hosokawa Tadaoki, Makimura Hyōbu, Seta Kamon, Furuta Shigeteru, Shigeyama Kenmotsu, Takayama Ukon, Rikyū Shichitetsu. Selain itu, dari aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yang dipimpin oleh daimyo yang piawai dalam upacara minum teh seperti Kobori Masakazu, Katagiri Sekijū dan Oda Uraku. Sampai saat ini masih ada sebutan Bukesadō untuk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan Daimyōcha untuk upacara minum teh gaya daimyō.

Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.

Kalangan penduduk kota yang berminat mempelajari upacara minum teh disambut dengan tangan terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: Omotesenke, Urasenke dan Mushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke.

Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur hirarki antara guru dan murid dalam seni tradisional Jepang.

Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenke generasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yang disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid secara bersama-sama dengan metode Shichijishiki.

Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak secara serius seperti sedang bermain-main.

Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.

Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dengan penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta dasar filosofi yang bersifat abstrak.

Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada teh sencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.

Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.

Di tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah cha no yu atau Chanoyu.

Kuil Itsukushima

Kuil Itsukushima adalah kuil Shinto(jinja) yang terdapat di pulau Itsukushima(pulau Miyajima), kota Hatsukaichi, Prefektur Hiroshima, Jepang. Didirikan lebih dari 1.400 tahun yang lalu, kuil Itsukushima merupakan salah satu situs peninggalan budaya Situs Warisan Dunia UNESCO yang terdaftar sejak tahun 1996.

Beberapa bangunan yang berada di lingkungan kuil Itsukushima dan benda-benda pusaka yang dimiliki kuil Itsukushima termasuk di antaranya sutra Heike Nōkyō terdaftar sebagai Pusaka Nasional Jepang. Heike Nōkyō yang disimpan kuil
Itsukushima merupakan persembahan dari klan Taira pada tahun 1164.

Pada zaman dulu, pulau Itsukushima merupakan pulau suci yang tidak boleh dimasuki sembarang orang, sehingga konstruksi kuil serupa bangunan dermaga yang didirikan di teluk pulau Itsukushima.

Bangunan Torii berwarna oranye menyala yang terlihat bagaikan mengambang di tengah laut merupakan ciri khas kuil Itsukushima sekaligus salah satu tujuan pariwisata yang paling populer di Jepang. Torii terlihat mengambang di tengah laut ketika air pasang, tapi bisa dicapai dengan berjalan kaki ketika air surut.

Pada saat air laut sedang surut, pantai di sekitar bangunan Torii merupakan tempat populer untuk memunguti kerang yang bisa dimakan. Di malam hari, bangunan kuil dan Torii bermandikan cahaya dari lampu-lampu sorot yang dipasang di sekitar pantai.

Pemandangan bangunan Torii dengan latar belakang Gunung Misen merupakan salah satu dari Tiga Pemandangan Terindah di Jepang bersama-sama dengan jalur pasir pantai di Amanohashidate dan pemandangan Teluk Matsushima.

Di dalam lingkungan kuil juga terdapat panggung pentas Noh.

Sejarah


Kuil pertama kali dibangun pada abad ke-6, sedangkan bangunan kuil seperti yang terlihat sekarang sudah ada sejak tahun 1168. Kuil pertama kali dibangun dengan dana pembangunan dari pemimpin militer Jepang yang bernama Taira no Kiyomori. Kuil Itsukushima kemudian dijadikan tempat pemujaan oleh klan Heike.

Kuil Itsukushima terus mengalami berkali-kali perbaikan sejak akhir zaman Heian, sedangkan pemugaran secara besar-besaran pernah dilakukan oleh Mōri Motonari setelah menaklukkan Sue Harukata dalam Pertempuran Itsukushima di tahun 1555.

Pada zaman dulu, pulau Itsukushima merupakan pulau terlarang bagi orang biasa. Kuil dibangun di atas pantai di teluk pulau Itsukushima agar orang biasa yang tidak boleh menginjakkan kaki di pulau bisa datang. Menurut catatan sejarah, orang biasa yang ingin berdoa harus datang ke pulau dengan perahu dan memasuki kuil dari pintu gerbang berupa bangunan Torii.

Bangunan Torii di kuil Itsukushima telah ada sejak tahun 1168, tapi Torii yang ada sekarang merupakan bangunan tahun 1875. Torii disangga empat tiang penopang agar berdiri stabil di atas pasir pantai. Seluruh konstruksi Torii berada di atas tanah, tanpa fondasi atau bagian yang dibenamkan ke dalam tanah. Torii dapat berdiri tegak hanya dengan mengandalkan bobot bangunan yang berketinggian 16 meter.

Kuil Itsukushima dianggap perlu dijaga kemurniannya sehingga kuil tidak menerima pencatatan kematian dan perkawinan hingga tahun 1878. Pemakaman merupakan perbuatan terlarang di pulau Itsukushima.


Makanan Jepang

Masakan Jepang adalah makanan yang dimasak dengan cara memasak yang berkembang secara unik di Jepang dan menggunakan bahan makanan yang diambil dari wilayah Jepang dan sekitarnya. Dalam bahasa Jepang, makanan Jepang disebut Nihonshoku atau Washoku. Sushi, Tempura, Shabu-shabu, dan Sukiyaki adalah makanan Jepang yang populer di luar Jepang, termasuk di Indonesia. Masakan dan makanan Jepang tidak selalu harus berupa "makanan yang sudah dimakan orang Jepang secara turun temurun." Makanan orang Jepang berbeda-beda menurut zaman, tingkat sosial, dan daerah tempat tinggal. Cara memasak masakan Jepang banyak meminjam cara memasak dari negara-negara Asia Timur dan negara-negara Barat. Di zaman sekarang, definisi makanan Jepang adalah semua makanan yang dimakan orang Jepang dan makanan tersebut bukan merupakan masakan asal negara lain.

Dalam arti sempit, masakan Jepang mengacu pada berbagai berbagai jenis makanan yang khas Jepang. Makanan yang sudah sejak lama dan secara turun temurun dimakan orang Jepang, tapi tidak khas Jepang tidak bisa disebut makanan Jepang. Makanan seperti Gyudon atau Nikujagu merupakan contoh makanan Jepang karena menggunakan bumbu khas Jepang seperti shōyu, dashi dan mirin. Makanan yang dijual rumah makan Jepang seperti penjual soba dan warung makan Kappō juga disebut makanan Jepang. Sebagian orang menganggap makanan yang mengandung daging sapi tidak bisa dianggap sebagai makanan Jepang karena kebiasaan makan daging baru dimulai zaman Restorasi Meiji sekitar 130 tahun lalu. Menurut orang di luar Jepang, berbagai masakan mengandung daging sapi seperti Sukiyaki dan Gyudon juga dimasukkan ke dalam kategori makanan Jepang. Dalam arti luas, bila masakan yang dibuat dari bahan makanan yang baru dikenal orang Jepang juga ikut digolongkan sebagai makanan Jepang, maka definisi masakan Jepang adalah makanan yang dimasak dengan bumbu yang khas Jepang.

Masakan Jepang sering merupakan perpaduan dari berbagai bahan makanan dan masakan dari berbagai negara. Parutan lobak yang dicampur saus sewaktu memakan bistik atau hamburg steak, dan selada dengan dressing parutan lobak merupakan contoh perpaduan makanan Barat dengan penyedap khas Jepang. Saus spaghetti yang dicampur mentaiko, tarako, natto, daun shiso atau umeboshi merupakan contoh makanan Barat yang dinikmati bersama bahan makanan yang memiliki rasa yang sudah akrab dengan lidah orang Jepang. Bistik dengan parutan lobak sebenarnya tidak dapat disebut sebagai makanan Jepang melainkan bistik ala Jepang (Wafū sutēki). Berdasarkan aturan ini, istilah "Wafū" ,digunakan untuk menyebut makanan yang lazim ditemukan dan dimakan di Jepang, tapi dimasak dengan cara memasak dari luar Jepang.

Berdasarkan aturan Wafū, beberapa jenis makanan sulit digolongkan sebagai makanan Jepang karena merupakan campuran antara makanan Jepang dan makanan asing:

Makanan Barat yang dicampur bahan makanan yang unik Jepang, seperti Sarada Udon (selada adalah makanan Barat tapi dicampur udon yang khas Jepang), kari, dan Anpan(roti berasal dari Barat berisi ogura yang khas Jepang).

Makanan khas Jepang yang berasal dari luar negeri tapi dibuat dengan resep yang sudah diubah sesuai selera lokal, seperti Ramen dan Gyōza. 

Makanan yang berdasarkan bahan dan cara memasak tidak sulit diputuskan harus dimasukkan ke dalam kategori makanan Barat atau makanan Jepang, seperti Pork Ginger dan Butashōgayaki keduanya menunjuk pada makanan yang sama.

Sebagian besar ahli kuliner menganggap masakan Jepang mudah sekali dibedakan dengan makanan tradisional Korea dan Tiongkok yang bertetangga, walaupun beberapa makanan Korea juga mendapat pengaruh dari masakan Jepang. Di Korea juga dikenal Futomakizushi (disebut Kimbab), sup miso, dan asinan lobak (takuan) yang merupakan makanan khas Jepang.

Ciri khas


Bahan makanan


Pada umumnya, bahan-bahan untuk masakan Jepang berupa: beras, hasil pertanian (sayur-sayuran dan kacang-kacangan), dan makanan laut. Bumbu berupa dashi (kaldu) yang dibuat dari konbu, ikan dan jamur shiitake, ditambah miso dan shōyu. Berbeda dengan masakan negara-negara lain, makanan Jepang sama sekali tidak menggunakan bumbu berupa rempah-rempah dari biji-bijian (merica) atau penyedap yang mengandung biji (seperti cabai) yang harus ditumbuk. Masakan Jepang juga tidak menggunakan bumbu yang berbau tajam seperti bawang putih. Kacang kedelai merupakan bahan utama makanan olahan, dan penyedap yang digunakan biasanya berupa sayur-sayuran beraroma harum yang dipotong-potong halus atau diparut. Masakan Jepang umumnya rendah lemak, tapi mengandung kadar garam yang tinggi.

Bumbu


Masakan Jepang mengenal 5 bumbu utama yang harus dimasukkan secara berturutan sesuai urutan sa-shi-su-se-so yang merupakan singkatan dari:

gula pasir (satō)

garam (shio)

cuka (su)

shōyu (seuyu: ejaan zaman dulu untuk shōyu)

miso (miso).

Sesuai dengan peraturan sa-shi-su-se-so, gula pasir adalah bumbu yang dimasukkan pertama kali, diikuti garam, cuka, kecap asin, dan miso.


Yudo

Yudo atau judo adalah seni bela diri, olahraga, dan filosofi yang berakar dari Jepang. Judo dikembangkan dari seni bela diri kuno Jepang yang disebut Jujutsu. Jujutsu yang merupakan seni bertahan dan menyerang menggunakan tangan kosong maupun senjata pendek, dikembangkan menjadi Judo oleh Kano Jigoro pada 1882. Olahraga ini menjadi model dari seni bela diri Jepang, gendai budo, dikembangkan dari sekolah (koryu) tua. Pemain judo disebut judoka. Judo sekarang merupakan sebuah cabang bela diri yang populer, bahkan telah menjadi cabang olahraga resmi Olimpiade.

Sejarah


Sebelum Judo


Pegulat sumo jaman dahulu kala menjatuhkan lawannya tanpa senjata. Hal ini menginspirasikan teknik-teknik bela diri jujutsu. Sumo pada awalnya hanya dinikmati kaum aristokrat sebagai ritual atau upacara keagamaan pada jaman Heian (abad ke-8 hingga abad ke-12).

Pada perkembangannya, Jepang memasuki masa-masa perang dimana kaum aristokrat digeser kedudukannya oleh kaum militer. Demikian pula olahraga yang sebelumnya hanya dijadikan hiburan, oleh kaum militer dijadikan untuk latihan para tentara. Pada masa inilah teknik jujutsu dikembangkan di medan pertempuran. Para prajurit bertempur tanpa senjata atau dengan senjata pendek. Teknik menjatuhkan lawan atau melumpuhkan lawan inilah yang dikenal dengan nama jujutsu.

Pada jaman Edo (abad ke-17 hingga abad ke-19) dimana keadaan Jepang relatif aman, jujutsu dikembangkan menjadi seni bela diri untuk melatih tubuh bagi masyarakat kelas ksatriya. Gaya-gaya jujutsu yang berbeda-beda mulai muncul, antara lain Takenouchi, Susumihozan, Araki, Sekiguchi, Kito, dan Tenjinshin'yo.

Awal mula Judo


Jigoro Kano menambahkan gayanya sendiri pada banyak cabang jujutsu yang ia pelajari pada masa itu (termasuk Tenjinshiyo dan Kito). Pada tahun 1882 ia mendirikan sebuah dojo di Tokyo yang ia sebut Kodokan Judo. Dojo pertama ini didirikan di kuil Eisho ji, dengan jumlah murid sembilan orang.

Tujuan utama jujutsu adalah penguasaan teknik menyerang dan bertahan. Kano mengadaptasi tujuan ini, tapi lebih mengutamakan sistem pengajaran dan pembelajaran. Ia mengembangkan tiga target spesifik untuk judo: latihan fisik, pengembangan mental / roh, dan kompetisi di pertandingan-pertandingan.

 Tingkatan Judo dan warna ikat pinggang


Dimulai dari kelas pemula (shoshinsha) seorang judoka mulai menggunakan ikat pinggang dan disebut berada di tingkatan kyu kelima. Dari sana, seorang judoka naik tingkat menjadi kyu keempat, ketiga, kedua, dan akhirnya kyu pertama. Setelah itu sistem penomoran dibalik menjadi dan pertama (shodan), kedua, dan seterusnya hingga dan kesepuluh, yang merupakan tingkatan tertinggi di judo. Meskipun demikian, sang pendiri, Kano Jigoro, mengatakan bahwa tingkatan judo tidak dibatasi hingga dan kesepuluh, dan hingga saat ini karena hanya ada 15 orang yang pernah sampai ke tingkat dan kesepuluh, maka tidak ada yang pernah melampaui tingkat tersebut.

Warna ikat pinggang menunjukkan tingkatan kyu ataupun dan. Pemula, kyu kelima dan keempat menggunakan warna putih; kyu ketiga, kedua, dan pertama menggunakan warna cokelat; warna hitam dipakai oleh judoka yang sudah mencapai tahapan dan, mulai dari shodan, atau dan pertama, hingga dan kelima. Judoka dengan tingkatan dan keenam hingga dan kesembilan menggunakan ikat pinggang kotak-kotak bewarna merah dan putih, walaupun kadang-kadang juga menggunakan warna hitam. Tingkatan teratas, dan kesepuluh, menggunakan ikat-pinggang merah-putih atau merah. Judoka perempuan yang telah mencapai tahap dan keatas memiliki garis putih yang memanjang di bagian tengah ikat pinggang hitam mereka.