Minggu, 29 April 2012

Kompleksitas Konflik Industri

Hubungan kerja industri memiliki kompleksitas sumber dinamika seperti isu upah, kesejahteraan pekerja, dan identitas para pekerja. Sumber-sumber dinamika hubungan kerja tersebut mampu mendorong efektivitas proses industri sekaligus menciptakan konflik kekerasan yang mereduksi kualitas kerja industri. Itu bisa menyebabkan efek-efek tak produktif seperti berhentinya aktivitas perusahaan, kerugian ekonomis, dan merenggangnya kohesivitas sosial antar-pekerja.

Konflik kekerasan yang terjadi di Batam pada 22 April tersebut merupakan bagian dari kompleksitas sumber-sumber dinamika hubungan industri. Diberitakan bahwa kerusuhan itu mengakibatkan sembilan pekerja perusahaan terluka parah. Enam orang di antara mereka berkewarganegaraanIndiadansisanyaWNI.

Kerusuhan tersebut juga mengakibatkan sedikitnya 38 mobil rusak parah dan kerugian diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah (Jawa Pos, 23/4/2010). Hal terpenting dalam menghadapi fenomena kompleksitas sumber dinamika hubungan industri adalah seberapa jauh mekanisme damai di tingkat individual, kelompok, dan kelembagaan. Tanpa mekanisme damai, kekerasanselalumenjadipilihantakterelakkan.

JejaringIdentitas

Konflik kekerasan dalam hubungan industri seperti yang terjadi di Batam merupakan pengaruh salah satu sumber dinamika hubungan industri, yaitu identitas. Identitas adalah pendefinisian terhadap diri dan kelompok yang direpresentasikan melalui beragam bahasa simbolis. Seperti pakaian, kesenian, kata-kata, nama, dan bendera yang selalu dimaknai adiluhung.

Bahasa simbolis tersebut memiliki sifat dasar sosial dalam bentuk ingin diakui (recognized) sekaligus dipertahankan (defended). Franke Wilmer dalam The Social Construction of Man, State, and War (2002) menyebut sifat-sifat bahasa simbolis dari identitas tersebutlah yang mampu menciptakan kerentanan konflik (conflict vulnerability). Dalam kondisi yang berbagai sifat bahasa simbolis identitas beredar, berbagai kelompok dan sistem sosial seharusnya mampu mengakomodasi secara kreatif jika tidakinginterjebakpadakonflikkekerasan.

Batam merupakan area industri internasional yang di dalamnya berbagai identitas berhubungan melalui bahasa-bahasa simbolisnya. Ketidakmampuan mengakomodasi sifat dasar bahasa simbolis identitas tertentu bisa menyebabkan mobilisasi jejaring identitas dalam bentuk aksi kekerasan. Pada kasus di Batam, aksi kekerasan para pekerja Indonesia secara akademis adalah upaya mempertahankan identitas terhadap kekerasan yang diciptakan identitas lain. Kekerasan itu berbentuk tidak diakuinya identitas para pekerja. Misalnya, ungkapan ''semua orang Indonesia bodoh'', yang merupakan bentuk penolakan terhadap eksistensi identitas keindonesiaan para pekerja. Makna adiluhung keindonesiaan para pekerja secara kolektif dipertahankan (defended) melaluiprotesdankerusuhandilingkunganpabrik.

Walau demikian, kekerasan selalu memiliki konsekuensi destruktif yang merugikan kepentingan jangka panjang. Upaya mempertahankan eksistensi identitas dan makna adiluhungnya perlu dilakukan secara kreatif dan visioner. Dalam kasus di Batam, misalnya, ada konsekuensi destruktif yang pasti mengikuti. Misalnya, persepsi negatif investasi asing terhadap industri di Indonesia. Salah satu faktor mendasar arus investasi asing, selain kepastian hukum, adalah keamanansosial.

Ketika suatu negara dipandang tidak memiliki keamanan sosial, selalu dipenuhi konflik kekerasan dan kriminalitas tinggi, maka investasi asing sulit masuk. Akibatnya, laju pertumbuhan perekonomian makro terhambat dan jumlah usia pekerja sulit diserap struktur ekonomi.

MekanismeDamai

Pilihan terhadap jalan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dalam sejarah hidup masyarakat, selalu diikuti penderitaan. Penderitaan itu disebabkan jatuhnya korban jiwa, luka-luka, kerugian material, dan trauma jiwa para korban. Pada saat bersamaan, cara kekerasan hampir sama sekali tidak menawarkan pemecahan masalah, tetapi menciptakan lingkaran balas dendam dan kebencian. Melihat konsekuensi destruktifnya, kekerasan seharusnya mulai dipahami bukan sebagai cara mempertahankan identitas atau memperjuangkan kepentingan lainnya.

Jalan damai dalam mencari penyelesain konflik (peaceful conflict resolution) lebih memberikan kesempatan kepada pemecahan berbagai isu konflik. Termasuk konflik dalam hubungan industri di negeri ini. Sayang, negara dan perusahaan belum memiliki kelembagaan mekanisme damai yang mampu mengelola sumber-sumber dinamika hubungan kerja industri secara komprehensif. UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial lebih banyak mengatur penyelesaian konflik antara buruh dan perusahaan. Artinya, peraturan tersebut hanya mengelola salah satu aspek sumber dinamika hubungan kerja industri yang sebenarnya bersifat kompleks. Sebagaimana kasus di Batam, konflik industri terjadi karena faktor identitas, bukan isu upah pekerja.

Selain kelembagaan mekanisme damai secara legal formal, pendekatan-pendekatan kultural dan keterampilan menyelesaikan konflik secara damai memiliki porsi penting. Kasus di Batam merupakan pelajaran penting bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan di negeri ini bahwa cara kekerasan bisa disebabkan ketidaktahuan cara menyelesaikan konflik secara damai. Kekecewaan dan kemarahan para pekerja tidak ditransformasikan menjadi bentuk tuntutan tanpa kekerasan. Seperti menggunakan jalur yudisial (hukum) atau menggunakan forum dialog untuk mencaripenyelesaiankonflik.

Kasus rusuh hubungan industri di Batam adalah bentuk tidak terkelolanya sumber-sumber dinamika hubungan kerja industri. Tidak tertutup kemungkinan kasus serupa akan terjadi di tempat-tempatlaindiIndonesia.

Membiarkan kemungkinan itu terjadi sama halnya dengan membiarkan negeri ini selalu menghadapi konsekuensi destruktif dari kekerasan. Kita tentu mengharapkan kekerasan bisa dieliminasi dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, negara dan berbagai elemen bangsa ini perlu berkomitmen dengan cara menciptakan mekanisme damai dalam setiap konteks hubungan sosial di Indonesia.

Minggu, 22 April 2012

Cara Mengelola Konflik Organisasi Secara Efektif

Dalam interaksi dan interelasi sosial antar individu atau antar kelompok, konflik sebenarnya merupakan hal alamiah. Dahulu konflik dianggap sebagai gejala atau fenomena yang tidak wajar dan berakibat negatif, tetapi sekarang konflik dianggap sebagai gejala yang wajar yang dapat berakibat negatif maupun positif tergantung bagaimana cara mengelolanya.

Dari pandangan baru dapat kita lihat bahwa pimpinan atau manajer tidak hanya wajib menekan dan memecahkan konflik yang terjadi, tetapi juga wajib untuk mengelola/memanaj konflik sehingga aspek-aspek yang membahayakan dapat dihindari dan ditekan seminimal mungkin, dan aspek-aspek yang menguntungkan dikembangkan semaksimal mungkin.

Penyebab Konflik
Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

A. Faktor Manusia
1. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
2. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
3. Timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.

B. Faktor Organisasi
1. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya.
Apabila sumberdaya baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.

2. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi.
Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan perusahaan.

3. Interdependensi tugas.
Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.

4. Perbedaan nilai dan persepsi.
Suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak “adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior men¬dapat tugas yang ringan dan sederhana.

5. Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.

6. Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi.

7. Hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar unit/ departemen.

Akibat-akibat Konflik
Konflik dapat berakibat negatif maupun positif tergantung pada cara mengelola konflik tersebut.
Akibat negatif
• Menghambat komunikasi.
• Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).
• Mengganggu kerjasama atau “team work”.
• Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
• Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
• Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme.

Akibat Positif dari konflik:

• Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
• Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
• Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
• Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
• Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.

Cara atau Taktik Mengatasi Konflik
Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul.

Diatasi oleh pihak-pihak yang bersengketa:
Rujuk: Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.

Persuasi: Usaha mengubah po-sisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.

Tawar-menawar: Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.

Pemecahan masalah terpadu: Usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama dengan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.

Penarikan diri: Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung satu sama lain.

Pemaksaan dan penekanan: Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah dan menyerah secara terpaksa.

Intervensi (campur tangan) pihak ketiga:
Apabila fihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.

Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.

Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta mela-pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.

Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa.

Hal-hal yang Perlu Diperhati-kan Dalam Mengatasi Konflik:
1. Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif.
2. Cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi.
3. Tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak karyawan.
4. Atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang muncul.
5. Ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis.
6. Bentuklah team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja.
7. Semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata rantai organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling hebat.
8. Bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar unit/departemen/ eselon.

Sumber : Majalah Eksekutif Edisi Februari 1987.

Karate

Karate adalah seni bela diri yang berasal dari Jepang. Seni bela diri karate dibawa masuk ke Jepang lewat Okinawa. Seni bela diri ini pertama kali disebut "Tote” yang berarti seperti “Tangan China”. Waktu karate masuk ke Jepang, nasionalisme Jepang pada saat itu sedang tinggi-tingginya, sehingga Sensei Gichin Funakoshi mengubah kanji Okinawa (Tote: Tangan China) dalam kanji Jepang menjadi ‘karate’ (Tangan Kosong) agar lebih mudah diterima oleh masyarakat Jepang. Karate terdiri dari atas dua kanji. Yang pertama adalah ‘Kara’ 空 dan berarti ‘kosong’. Dan yang kedua, ‘te’ 手, berarti ‘tangan'. Yang dua kanji bersama artinya “tangan kosong” 空手.

Asas karate adalah sama. Namun terdapat beberapa jenis gaya karate yang utama yaitu:

  1. Shotokan
  2. Goju-Ryu
  3. Shito-Ryu
  4. Wado-Ryu
  5. Kyokushin

Di negara Jepang, organisasi yang mewadahi olahraga Karate seluruh Jepang adalah Japan Karatedo Federation (JKF). Adapun organisasi yang mewadahi Karate seluruh dunia adalah WKF (World Karate Federation), (dulu dikenal dengan nama WUKO - World Union of Karatedo Organizations). Ada pula ITKF (International Traditional Karate Federation) yang mewadahi karate tradisional. Adapun fungsi dari JKF dan WKF adalah terutama untuk meneguhkan Sport Karate yang bersifat Non-Contact, berbeda dengan aliran Kyokushin atau Daidojuku yang Full Contact.

Latihan dasar karate terbagi tiga seperti berikut:

  1. Kihon, yaitu latihan teknik-teknik dasar karate seperti teknik memukul, menendang dan menangkis.
  2. Kata, yaitu latihan jurus atau bunga karate.
  3. Kumite, yaitu latihan tanding atau sparring.

Pada zaman sekarang karate juga dapat dibagi menjadi aliran tradisional dan aliran olah raga. Aliran tradisional lebih menekankan aspek bela diri dan teknik tempur sementara aliran olah raga lebih menumpukan teknik-teknik untuk pertandingan olah raga.

Teknik Karate


Teknik Karate terbagi menjadi tiga bagian utama : Kihon (teknik dasar), Kata(jurus) dan Kumite (pertarungan). Murid tingkat lanjut juga diajarkan untuk menggunakan senjata seperti tongkat (bo) dan ruyung (nunchaku).

Kihon


Kihon secara harfiah berarti dasar atau fondasi. Praktisi Karate harus menguasai Kihon dengan baik sebelum mempelajari Kata dan Kumite.

Pelatihan Kihon dimulai dari mempelajari pukulan dan tendangan (sabuk putih) dan bantingan (sabuk coklat). Pada tahap DAN atau Sabuk Hitam, siswa dianggap sudah menguasai seluruh kihon dengan baik.

Kata


Kata secara harfiah berarti bentuk atau pola. Kata dalam karate tidak hanya merupakan latihan fisik atau aerobik biasa. Tapi juga mengandung pelajaran tentang prinsip bertarung. Setiap Kata memiliki ritme gerakan dan pernapasan yang berbeda.

Dalam Kata ada yang dinamakan Bunkai. Bunkai adalah aplikasi yang dapat digunakan dari gerakan-gerakan dasar Kata.

Setiap aliran memiliki perbedaan gerak dan nama yang berbeda untuk tiap Kata. Sebagai contoh : Kata Tekki di aliran Shotokan dikenal dengan nama Naihanchi di aliran Shito Ryu. Sebagai akibatnya Bunkai (aplikasi kata) tiap aliran juga berbeda.

Kumite


Kumite  secara harfiah berarti "pertemuan tangan". Kumite dilakukan oleh murid-murid tingkat lanjut (sabuk biru atau lebih). Tetapi sekarang, ada dojo yang mengajarkan kumite pada murid tingkat pemula (sabuk kuning). Sebelum melakukan kumite bebas (jiyu Kumite) praktisi mempelajari kumite yang diatur (go hon kumite) atau (yakusoku kumite). Untuk kumite aliran olahraga, lebih dikenal dengan Kumite Shiai atau Kumite Pertandingan.

Untuk aliran Shotokan di Jepang, kumite hanya dilakukan oleh siswa yang sudah mencapai tingkat dan (sabuk hitam). Praktisi diharuskan untuk dapat menjaga pukulannya supaya tidak mencederai kawan bertanding.

Untuk aliran full body contact seperti Kyokushin, praktisi Karate sudah dibiasakan untuk melakukan kumite sejak sabuk biru strip. Praktisi Kyokushin diperkenankan untuk melancarkan tendangan dan pukulan sekuat tenaganya ke arah lawan bertanding.

Untuk aliran kombinasi seperti Wado-ryu, yang tekniknya terdiri atas kombinasi Karate dan Jujutsu, maka Kumite dibagi menjadi dua macam, yaitu Kumite untuk persiapan Shiai, dimana yang dilatih hanya teknik-teknik yang diperbolehkan dalam pertandingan, dan Goshinjutsu Kumite atau Kumite untuk beladiri, dimana semua teknik dipergunakan, termasuk jurus-jurus Jujutsu seperti bantingan, kuncian dan menyerang titik vital.

Sumber : wikipedia


Minggu, 15 April 2012

Tari Awa

Tari Awa, adalah tari asal Provinsi Awa (Prefektur Tokushima), Jepang yang ditarikan secara beramai-ramai di berbagai kota dan desa di Tokushima untuk menyambut perayaan Obon. Setiap tahun tanggal 12-15 Agustus, tari Awa dilangsungkan di tengah kota Tokushima. Penari Awa menari dalam kelompok-kelompok yang disebut Ren sambil berpawai di jalan-jalan. Satu kelompok penari bisa terdiri dari lusinan penari. Tari Awa adalah sejenis Bon Odori. Penari wanita menari dengan posisi tubuh tegak, dan tangan yang digerak-gerakkan di atas kepala. Pria menari dengan pinggul direndahkan, dan gerakan tangan dan kaki yang dinamis. Musik pengiring menggunakan alat musik yang terdiri dari shamisen, perkusi (taiko dan tsuzumi), genta (kane), dan flute (yokobue). Lagu yang dimainkan adalah lagu populer dari zaman Edo yang berjudul "Yoshikono". Liriknya berupa ajakan kepada penonton untuk turut menari, "Erai yatcha, erai yatcha, yoi yoi yoi yoi, odoru ahō ni miru ahō, onaji ahō nara odorana son son." Lagu "Yoshikono" hanya digunakan untuk mengiringi kelompok tari Awa yang terkenal, sedangkan kelompok tari Awa yang lain menari dengan diiringi seruan "Yatto sā Yatto saā". Selain dipertunjukkan di Prefektur Tokushima, kelompok tari Awa asal Tokushima sering berkeliling di kota-kota besar di Jepang (khususnya di wilayah Kanto). Di distrik Suginami-ku, Tokyo, tari Awa diselenggarakan kuil Kōenji bersama pusat perbelanjaan di dekatnya.

Asal-usul

Festival tari Awa sudah diselenggarakan sejak 400 tahun yang lalu, dan merupakan salah satu dari 3 matsuri terbesar di Shikoku. Tari Awa sering dikatakan berasal dari gerakan tari disertai pengucapan doa agama Buddha. Penjelasan lain mengatakan bahwa penguasa Istana Tokushima yang bernama Hachisuka Iemasa memerintahkan penduduk Tokushima untuk menari beramai-ramai setelah istana selesai dibangun. Menurut cerita yang lain, tari Awa mulai ditarikan orang sejak Tokushima dijadikan wilayah administrasi (han) tersendiri.

Kelompok tari

Di Prefektur Tokushima terdapat lebih dari 1.000 kelompok tari Awa (Ren), dan sekitar 350 kelompok di antaranya dimiliki perusahaan atau pengusaha. Kelompok tari yang sudah mapan biasanya menjadi anggota Asosiasi Promosi Tari Awa (Awa Odori Shinkō Kyōkai) atau Asosiasi Tari Awa Prefektur Tokushima (Tokushima-ken Awa Odori Kyōkai). Selain itu, di Tokushima terdapat banyak kelompok kecil yang beranggotakan orang yang memang berminat menari, klub ekstrakurikuler mahasiswa, atau grup tari yang disponsori perusahaan atau pusat perbelanjaan. Pada tahun 2006, festival tari Awa di kota Tokushima diikuti oleh 960 kelompok tari. Ditambah dengan penonton yang ikut menari, orang yang menari di jalan-jalan kota Tokushima diperkirakan berjumlah di atas 100 ribu orang.

Kostum tari

Penari wanita

Penari wanita mengenakan yukata dan topi anyaman (amigasa) yang hampir menutupi wajah bagian atas. Alas kaki yang digunakan adalah sandal dari kayu yang disebut geta. Pada gerakan tari untuk wanita, kaki dan tangan digerakkan secara anggun. Berlainan dengan yukata yang dikenakan sehari-hari, penari Awa mengenakan yukata berikut pakaian dalam (juban), rok dalam (susoyoke), dan penutup lengan yang disebut tekko.

Penari pria

Tari yang dibawakan penari pria yang mengenakan setelan happi (hanten) dengan celana pendek disebut Hanten Odori (tari hanten). Pria bisa juga mengenakan yukata dengan kain yukata di bagian kaki diangkat ke bagian pinggang, sehingga celana pendek yang dikenakan terlihat. Bila mengenakan yukata, maka tarian tersebut disebut Yukata Odori (tari Yukata). Anak perempuan sering memakai kostum penari laki-laki, dan menarikan gerakan tari Awa untuk pria. Sebaliknya, pria tidak menarikan gerakan tari Awa untuk wanita. Pada gerakan tari untuk pria, tangan dan kaki bergerak dengan bebas dan dinamis. Penari sering pria menggunakan uchiwa (kipas bundar) dan tenugui (saputangan panjang) sebagai perlengkapan menari.

Sumber : wikipedia


Perubahan Organisasi

PENDAHULUAN

Charles Darwin pernah mengatakan bahwa “Mereka yang berumur panjang bukanlah spesies yang terkuat namun mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan” Pernyataan tersebut bukan hanya berlaku pada makhluk hidup saja, namun berlaku juga bagi organisasi. Menurut Arie de Greus (1997), seperti dikutip dalam Kasali (2005), sebenarnya perusahaan pada dasarnya adalah sesosok makhluk hidup. Karena ia hidup maka ia dilahirkan, tumbuh, berkembang, sakit, tua, dan dapat mati seperti makhluk hidup lainnya. Jika ingin berumur panjang dan mampu bertahan hidup maka organisasi harus selalu adaptif terhadap perubahan lingkungan.

KAPAN PERUBAHAN TERJADI DAN KAPAN DILAKUKAN?

Setidaknya terdapat tiga faktor yang mendorong terjadinya perubahan organisasi (Soerjogoeritno; 2004). Pertama, sejumlah ketidakpuasan dengan kondisi sekarang. Semakin besar rasa ketidakpuasan dengan kondisi sekarang, akan semakin mendorong untuk melakukan perubahan. Kedua, ketersediaan alternatif yang diinginkan. Semakin banyak alternatif yang tersedia yang lebih layak untuk memperbarui kondisi sekarang menuju kondisi yang lebih baik maka semakin menguntungkan bila melakukan perubahan. Ketiga, adanya suatu perencanaan untuk mencapai alternatif yang diinginkan. Bila ada perencanaan yang baik dan sistematis berarti semakin terbuka peluang melakukan perubahan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pengorbanan yang dikeluarkan akan sebanding dengan hasil yang didapat jika perubahan dilakukan?. Jika hasil melebihi pengorbanan maka proses perubahan akan lebih mudah dilakukan. Namun sebaliknya, jika keuntungan tidak sebanding pengorbanan, maka perubahan akan menemui hambatan. Gambar 1 menjelaskan kapan perubahan akan terjadi.

Menurut Charles Handy (1994), dalam Kasali (2005), setiap organisasi akan berkembang mengikuti Kurva Sigmoid (Sigmoid Curve), yaitu seperti kurva S yang tertidur. Organisasi akan menghadapi masa-masa pertumbuhan, puncak dan akhirnya mencapai masa-masa penurunan (lihat gambar 2).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa melakukan perubahan tidak perlu menunggu sampai saat-saat krisis. Perubahan terbaik justru seharusnya dilakukan pada saat-saat perusahaan sedang mengalami peningkatan. Karena pada saat itulah perusahaan mempunyai rasa percaya diri yang besar, serta sumber daya yang tangguh. Namun kondisi seperti itu sulit mendorong organisasi untuk berubah karena organisasi merasa nyaman menikmati keberhasilannya. Karena perubahan dilakukan pada masa jaya, penolakan perubahan (resistance to change) akan muncul sangat kuat. Karena berada pada posisi pertumbuhan, maka kebanyakan anggota organisasi akan merasa puas. Mereka beranggapan bahwa keuntungan atau benefit yang akan diperoleh tidak sebanding dengan pengorbanan yang mereka lakukan.


KUNCI SUKSES PEMIMPIN DALAM MENGELOLA PERUBAHAN

Setiap keinginan atau inisiatif untuk berubah, hanya timbul dari kesadaran akan pentingnya suatu perubahan. Keinginan ini kadang timbul hanya pada segelintir orang saja dalam organisasi. Akan muncul seorang pencetus yang akan memulai dan mungkin memimpin proses perubahan tersebut. Akan ada upaya untuk mengajak anggota lain melakukan perubahan. Hal ini memungkinkan perubahan dapat diakui sebagai suatu keharusan oleh seluruh anggota organisasi. Tetapi keinginan ini pasti akan menimbulkan penolakan terhadap perubahan. Bila keinginan dan kebutuhan untuk berubah tersebut kuat maka penolakan tersebut akan diupayakan untuk dieliminir.

Dengan lebih dulu mengupayakan penyadaran dan mengeliminir penolakan maka proses dalam mengelola perubahan akan lebih mudah dilaksanakan. Proses selanjutnya adalah adanya persetujuan mengenai tipe perubahan yang dibutuhkan, mengidentifikasi dan mengembangkan critical success factor, penyediaan sistem dan struktur, dan akhirnya akan menimbulkan suatu pengembangkan strategi. Strategi yang telah dibuat kemudian diimplementasikan, dikontrol, dan diukur tingkat keberhasilannya. Berdasarkan hasil pengukuran, hal tersebut kemudian dievaluasi untuk digunakan sebagai learning pada proses selanjutnya.

Berdasarkan proses perubahan yang terjadi, dapat diidentifikasi sebagai faktor kunci dalam menentukan keberhasilan pengelolaan perubahan. Menurut Ulrich (1996), kunci sukses dalam mengelola perubahan organisasi, adalah: 1) Leading change merupakan orang yang mensponsori perubahan dan memimpin proses perubahan tersebut, 2) Creating a share need. Menyakinkan individu, mengapa mereka harus berubah dan kebutuhan kebutuhan untuk berubah lebih besar dibandingkan penolakan yang dilakukan, 3) Shaping a vision, yaitu mengatasi hambatan untuk berubah, 4) Mobilizing commitment merupakan identifikasi, mengikat dan membela kepentingan stakeholder yang harus diperhatikan dalam mengelola perubahan, 5) Changing system and structure. Menggunakan fungsi human resource dan manajemen (stafffing, development, appraisal, rewards, organization design, communication, systems dan sebagainya) untuk menyakinkan bahwa perubahan dibangun dalam infrastruktur organisasi, 6) Monitoring process. Menetapkan benchmark, milestone dan eksperimen yang dapat mengukur dan menunjukkan proses perubahan tersebut, dan 7) Making change last. Meyakinkan bahwa perubahan terjadi melalui implementasi perencanaan, pemikiran dan komitmen.


LEADING CHANGE SEBAGAI KUNCI UTAMA

Kehadiran seorang change agent yang akan memimpin proses perubahan organisasi merupakan faktor yang paling esensial dalam menentukan sukses tidaknya suatu organisasi menghadapi perubahan. Tanpa pemimpin maka proses perubahan tersebut akan menjadi tidak teratur dan kehilangan arah. Kehadiran seorang change leader ini dapat muncul dari orang dalam maupun luar organisasi.

Moran dan Brightman (2000) berpendapat bahwa untuk menjadi seorang change leader yang efektif seorang pemimpin harus mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) Mengetahui gambaran mengenai perubahan secara menyeluruh serta mengetahui dampaknya terhadap individu-individu dalam organisasi. Mampu mendorong anggota untuk menyesuaikan diri dengan perubahan baru yang terjadi dan mampu menyediakan sumber daya yang diperlukan, 2) Menciptakan lingkungan yang memungkinkan individu untuk mencoba perubahan yang terjadi, mendorong semangat, mempunyai pengalaman dengan cara-cara baru yang dioperasikan dan mampu mendobrak budaya yang telah mengakar, 3) Memimpin usaha untuk berubah dalam setiap kata-kata dan tindakannya. Bertanggung jawab pada pelaksanaan proses kinerja yang telah berlangsung dan mengidentifikasi penolakan yang potensial muncul, 4) Menunjukkan dedikasi yang kuat untuk melakukan perubahan. Fokus pada hasil maupun proses, menganalisis kesalahan, menentukan mengapa hal tersebut terjadi dan berani untuk mencoba, dan 5) Berinteraksi pada individu-individu dan group-group dalam organisasi, Mampu menerangkan siapa, apa, kapan, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana terjadinya perubahan.

Menurut Ulrich (1996), dalam proses perubahan organisasi seorang change leader harus mampu menjadi seorang champion, yaitu harus mampu menyebarkan visinya dan mendorong individu mencapai visi tersebut. Mampu berperan tidak hanya sebagai knowledge worker tetapi juga sebagai knowledge broker. Change leader harus mau dan mampu menyebarkan knowledge kepada anggota lainnya. Seorang pemimpin perubahan juga dituntut untuk mampu menjadikan orang lain sebagai pemimpin.


CREATING SHARE NEED: MEMBANGUN KESIAPAN MENGHADAPI PERUBAHAN

Michael Beer (1987) memberikan saran mengenai kondisi yang harus juga diperhatikan dalam mempersiapkan perubahan organisasi. Kondisi tersebut meliputi adanya dissatisfaction mengenai status quo anggota yang harus mengubah perilaku mereka. Membangun kesiapan untuk berubah, tergantung pada rasa membutuhkan adanya perubahan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat dan menumbuhkan rasa tidak puas dengan adanya status quo dan memotivasi mereka untuk mencoba sesuatu yang baru. Membangkitkan perasaan bersalah dan tertinggal, dengan menyadarkan bahwa kinerja saat ini masih jauh dari harapan. dan memberi gambaran yang lebih luas mengenai kinerja yang seharusnya dapat dicapai pada masa yang akan datang. Proses dalam membangun motivasi dan kesiapan ini dinamai Kurt Lewin sebagai proses unfreezing.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Berr (1987) survey yang dilakukan secara berturut-turut dapat membantu mengembangkan rasa tidak nyaman dengan adanya status quo. Survey yang dilakukan untuk menilai sikap bawahan terhadap manajer mereka dapat meningkatkan dissatisfaction pada gaya kepemimpinan manajer. Beer juga menyimpulkan bahwa data feedback dan diskusi merupakan kunci sukses dalam mengembangkan kesiapan organisasi dalam menghadapi perubahan.


SHAPING A VISION SEBAGAI UPAYA MENGURANGI PENOLAKAN DAN HAMBATAN TERHADAP PERUBAHAN ORGANISASI

Hal yang paling penting untuk digarisbawahi adalah penolakan terhadap perubahan merupakan suatu yang tidak dapat dihindari. Sikap penolakan yang ditimbulkan hanya bisa direduksi. Seperti yang dikutip dalam Kasali (2004), menurut Kotter & Schlesinge (1979) ada beberapa strategi dalam mengatasi penolakan terhadap perubahan, yaitu komunikasi, partisipasi, fasilitasi, negosiasi, manipulasi dan paksaan. menunjukkan kontinum dari sebelah kiri yang cenderung dapat diajak mengerti lebih mudah, sampai paling kanan yang harus dipaksa melalui sejumlah teknik (lihat gambar 4).

Hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam menghadapi perubahan organisasi adalah adanya hambatan-hambatan lain yang sering tidak disadari oleh manajer dan bahkan terabaikan. Hambatan tersebut muncul berkenaan dengan hubungan antara anggota dengan organisasi yang dinamai Strebel (1996) sebagai "personal compacts". Dimensi yang meliputi hubungan antara anggota dengan organisasi dibagi dalam tiga dimensi antara lain dimensi formal, psychological dan social.

Dimensi formal merupakan aspek yang berkaitan dengan hubungan antara employees dengan employers yang disebutkan dan dijelaskan secara formal. Bagaimana employees dan employer berkomitmen membagi tugas dan tanggung jawab mereka terhadap satu dengan yang lainnya. Dimensi psychological merupakan hubungan antara employees dengan employers. Hubungan ini lebih didasari pada aspek psikologis atau bahkan moral yang tidak ada tuntutan secara formal bila salah satu tidak melaksanakan komitmen mereka. Sedangkan dimensi social lebih menekankan bagaimana employers mensosialisasikan nilai-nilai organisasi dalam praktik manajemen dan bagaimana employees mempersepsikan nilai-nilai tersebut dalam beliefs mengenai bagaimana organisasi dapat bekerja dengan baik.

Ketiga personal compact tersebut akan menjadi hambatan dalam proses perubahan organisasi jika tidak ikut direvisi atau dirubah. Perubahan personal compact harus seiring dengan perubahan organisasi yang diinginkan sehingga hal ini tidak lagi menjadi hambatan tetapi justru akan menjadi suatu dorongan atau kekuatan. Perubahan atau revisi dari personal compact ini meliputi tiga fase yang tidak boleh dilupakan. Pertama, pemimpin harus memperhatikan arah perubahan personal compact yang dibutuhkan. Kedua, pemimpin juga harus berinisiatif menemukan cara-cara dalam melakukan proses untuk dapat merubah personal compact ke yang baru. Akhirnya, pemimpin juga harus mengikat komitmen mereka dengan peraturan-peraturan formal dan informal yang baru.


MOBILIZING COMMITMENT AND CHANGE SYSTEM AND STRUCTURE SEBAGAI UPAYA MEMFASILITASI LINGKUNGAN DAN INFRA-STRUKTUR YANG MENDUKUNG PERUBAHAN

Perubahan organisasi dilakukan agar organisasi menjadi lebih adaptif dalam menghadapi perubahan lingkungan. Structure, system, style, staff, skill, dan share value harus mampu menunjukkan fleksibilitas, dan bukannya stabilitas. Informasi harus mampu diakses sampai pada tingkatan yang paling rendah. Anggota organisasi harus mampu diberdayakan dengan struktur, sistem, dan management style untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang sebelumnya tidak mampu diakses (Berr; 1987).

Komunikasi diupayakan untuk lebih terbuka lebar, bukan saja bersifat top-down tetapi juga bersifat bottom-up. Adanya dukungan dan sikap terbuka dari seorang pemimpin akan mampu memotivasi dan memberikan dorongan kepada anggota dalam melakukan perubahan dan individu menjadi tidak takut akan kegagalan. Fungsi-fungsi manajemen sumberdaya manusia yang lebih humanis, yang mampu menyejajarkan antara organization win dan employee win, dapat mendukung proses perubahan organisasi lebih baik.


MONITORING PROCESS AND MAKING LAST CHANGE: MEYAKINKAN PROSES PERUBAHAN BERJALAN DENGAN BAIK

Adanya pengawasan terhadap proses yang berlangsung dapat menjadikan proses perubahan lebih terarah sesuai tujuan yang diinginkan. Untuk itu dibutuhkan adanya target kinerja yang spesifik dan pengukurangnya. Hal ini mempunyai beberapa tujuan antara lain (Moran, J.W., dan Brightman, B. K.; 2000): 1) Membantu membuat perubahan lebih dapat dilihat dalam kacamata kinerja individu dan kinerja organisasi. Hal ini akan menimbulkan motivasi tersendiri bagi anggota organisasi, 2) Menjadikan hasil sebagai arahan, akan dapat memberikan individu perasaan untuk lebih maju dan berkembang, 3) Dengan menekankan pada spesifik kinerja yang dibutuhkan, akan dapat membantu dalam mengetahui individu yang menolak perubahan. Sehingga proses adaptasi menjadi lebih cepat, 4) Pengukuran hasil cenderung mendorong adanya kejelasan mengenai perubahan sehingga organisasi dapat memfokuskan pada hal yang lain.


KESIMPULAN

Tidak ada sesuatu yang tidak berubah, semua pasti akan mengalami suatu perubahan. Begitu juga dengan organisasi, yang harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Dibutuhkan suatu perencanaan dalam proses perubahan, sehingga perubahan menjadi lebih terarah. Pemahaman mengenai perubahan dapat dilihat melalui perspektif manajemen perubahan. Pertanyaan-pertanyaan yang mucul dari perspektif manajemen perubahan dapat memberikan jawaban bahwa perubahan harus dilakukan.

Manajemen perubahan tidak menyarankan untuk menunggu sampai muncul dorongan yang kuat akan perubahan, namun kondisi organisasi yang selalu siap melakukan perubahan harus diciptakan. Segala penolakan dan hambatan untuk berubah harus dieliminir terlebih dahulu. Sehingga dengan begitu pemimpin perubahan akan lebih mudah menciptakan lingkungan yang lebih mendukung adanya perubahan. Melalui kombinasi tindakan strategi dengan fase organisasi dalam sigmoid curve dapat memberikan arahan dalam mengelola perubahan. Bagi seorang pemimpin, critical succes factor dapat menjadi landasan dalam mengelola perubahan. Dengan memperhatikan berbagai dimensi dalam perspektif manajemen perubahan tersebut diharapkan proses perubahan menuju kesuksesan.

 Sumber :
Beer, M, 1987, “Revitalilzing Organizations: Change Process and Emergent Model”, Academy of Management Executive, February.
Greiner, LE, 1998, “Revolution as Organizations Grow”, Harvard Business Review, May-June.
Kasali, Rhenald, 2005, ”Change”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Handoko, Hani T dan Reksohadiprodjo, S., 1997, ”Organisasi Perusahaan”, Cetakan kesepuluh, Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Ivancevich, JM, Matteson, M T, 1999, “Organizational Behavior and Management”, McGraw- Hill, Singapore.
Moran, JW and Brightman, BK, 2000, “Leading Organizational Change”, Journal of Workplace Learning, MCM University Press.
Siegal, W, 1996, “Understanding Management of Change”, Journal of Organizational Change Management, MCB University Press.
Soerjogoeritno, ER, 2004, “Total Organizational Change Berkelanjutan: Perspektif Manajemen Perubahan”, Majalah Usahawan No. 06, Th XXXIII, Juni 2004
Strebel, P, 1996, “Why Do Employees Resist Change?”, Harvard Business Review, May-June.
Ulrich, D, 1996, “Human Resource Champions”, Harvard Business School Press, Boston Massachusetts.
http://ssantoso.blogspot.com/2011/02/perubahan-organisasi-dalam-perspektif.html

Minggu, 08 April 2012

Monumen Perdamaian Hiroshima

Monumen Perdamaian Hiroshima atau dikenal sebagai Genbaku Dome (Atomic Bomb Dome) adalah bangunan monumen yang terletak di pusat kota Hiroshima, Prefektur Hiroshima, Jepang. Monumen yang berupa sebagian gedung yang tersisa akibat ledakan bom atom merupakan salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1996. Monumen merupakan simbol harapan umat manusia untuk perdamaian dunia dan pemusnahan senjata nuklir.
Monumen Perdamaian Hiroshima terletak di dalam Taman Monumen Perdamaian Hiroshima yang terletak di sisi jembatan Aioi yang membentuk huruf T. Di sebelah selatan terdapat sungai Motoyasu, di sebelah utara terdapat jalur trem dalam kota Hiroden, stasiun trem bernama Genbaku Dome-mae dan stadion baseball yang merupakan homebase tim baseball Hiroshima Carp. Sekitar 200 meter di sebelah timur terdapat rumah sakit Shima-byōin yang merupakan hiposenter ledakan nuklir.
Sejarah.
Bangunan bergaya Arsitektur Barok bercampur dengan detail ornamen bergaya gerakan seni Art Nouveau Wina . Perancang oleh arsitek dari Ceko yang bernama Jan Letzel. Bangunan berlantai 3 dengan sebagian gedung terdiri dari 5 lantai dan lantai bawah tanah.
Pembangunan selesai pada tanggal 5 April 1915 dan diresmikan sebagai Gedung Pameran Produk Industri Prefektur Hiroshima pada tanggal 5 Agustus tahun yang sama. Pada tahun 1921, nama gedung diganti menjadi Gedung Pameran Produk Perdagangan Prefektur Hiroshima. Pada tahun yang sama (1921), gedung menjadi tempat diselenggarakannya Festival Nasional Kue Tradisional dan Permen yang ke-4. Pada tahun 1933 nama gedung diganti lagi menjadi Gedung Promosi Industri Prefektur Hiroshima. Selain itu, gedung ini banyak dimanfaatkan untuk pameran benda-benda seni sehingga dianggap berjasa dalam mempopulerkan kesenian di Hiroshima.
Sekitar tahun 1944, gedung tidak lagi digunakan sebagai tempat promosi produk Hiroshima, melainkan dijadikan gedung Kantor Pekerjaan Umum wilayah Chugoku dan Shikoku yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri dan kantor perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang perkayuan dan kantor administrasi daerah.
Pelestarian.
Pada mulanya, pelestarian sisa-sisa gedung mengalami kesulitan karena ada dua pihak yang bertentangan. Pihak yang menginginkan pelestarian ingin menjadikan gedung sebagai simbol yang mengingatkan umat manusia akan kengerian bencana nuklir. Pihak yang menentang ingin sisa-sisa gedung segera dihancurkan karena terus mengingatkan orang pada tragedi perang.
Pada tahun 1966, sisa-sisa gedung diputuskan untuk dilestarikan selama-lamanya berdasarkan keputusan parlemen kota Hiroshima. Pekerjaan pemugaran dilakukan agar sisa-sisa gedung bisa bertahan dari berbagai macam keadaan cuaca. Pemerintah Jepang menetapkan sisa-sisa gedung sebagai situs bersejarah pada tahun 1995, sedangkan UNESCO  menetapkan Monumen Perdamaian Hiroshima sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tanggal 5 Desember 1996.
Pada tahun 2004 diselenggarakan pertemuan yang akan memutuskan kebijakan pelestarian Monumen Perdamaian Hiroshima. Pertemuan antara lain membicarakan kemungkinan pembuatan museum dan pembangunan atap. Pada akhirnya pertemuan memutuskan cara pelestarian dengan membiarkan seperti apa adanya.
Masalah utama dalam pelestarian monumen adalah aksi coret-coret dan pembangunan gedung-gedung baru di sekitar monumen yang merusak pemandangan.
Sumber : wikipedia

 

Appreciative Inquiry

Appreciative Inquiry merupakan sebuah pendekatan sosial konstruksionis terhadap perubahan dan pengembangan organisasi. Appreciative Inquiry dapat disebut sebagai suatu metode riset aksi (action research) dan sekaligus teori tentang bagaimana realitas organisasi terbentuk dan berkembang . Sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan. Appreciative berasal dari kata dasar appreciate yang berarti menghargai, suatu tindakan memahami sesuatu yang terbaik dalam individu atau dunia disekitarnya, memberi dukungan terhadap kelebihan, kesuksesan dan potensi di masa lalu maupun masa kini. Sementara, inquiry berasal dari kata dasar inquire, yang berarti tindakan mengeksplorasi dan menemukan; mengajukan pertanyaan untuk memperluas pandangan terhadap kemungkinan dan potensi baru. Sementara, pengertian Appreciative Inquiry yang diajukan oleh pengembangnya, Cooperrinder  adalah sebagai berikut:
…is a worldview, a paradigm of thought and understanding that holds organizations to be affirmative systems created by humankind as solutions to problems. It is a theory, a mindset, and an approach that leads to organizational learning and creativity’.
Appreciative Inquiry menjadi sangat populer dan dipraktekkan di berbagai wilayah dunia , seperti untuk mengubah budaya sebuah organisasi, melakukan transformasi komunitas, menciptakan pembaharuan organisasi, mengarahkan proses merger dan akusisi, dan menyelesaikan konflik . Appreciative Inquiry digunakan pula untuk membentuk tim kerja . Beberapa perusahaan yang menerapkan Appreciative Inquiry dalam melakukan pengembangan dan perubahan organisasi diantaranya adalah Nokia, McDonald, Verizon, Hunter Duoglas, US Navy, Cap Gemini Ersnt & Young, dan British Pretoleum.
Sementara itu, Chapagai menggunakan Appreciative Inquiry untuk memberdayakan komunitas pinggiran di Nepal . Bahkan, Appreciative Inquiry digunakan untuk melakukan perubahan kota Chicago, upaya membangun pemimpin religius untuk menciptakan level baru kerja sama dan perdamaian bekerja sama dengan Dalai Lama . Dalam dunia pendidikan, Appreciative Inquiry digunakan untuk perubahan budaya, penyusunan rencana strategis dan perubahan proses pembelajaran .
Berbeda dengan intervensi perubahan organisasi yang lain, Appreciative Inquiry menolak menggunakan paradigma penyelesaian persoalan (problem solving approach). Cooperrider  mengkritik pendekatan penyelesaian masalah karena bersifat menyakitkan (selalu bertanya kepada orang menoleh kebelakang untuk mencari penyebab di masa lalu); jarang menghasilkan visi baru (tidak berupaya memperluas pengetahuan mengenai kondisi ideal yang lebih baik tetapi lebih berupaya menghilangkan gap antara apa yang senyatanya dengan yang seharusnya); dan memunculkan sikap defensif (“itu bukan masalahku tetapi masalahmu”) dan membuat tidak percaya diri untuk melakukan tindakan positif. Ketika organisasi berusaha mengatasi persoalan tercipta persoalan lebih banyak persoalan, atau persoalan yang sama sebenarnya tidak hilang .
Asumsi dasar Appreciative Inquiry adalah organisasi bukanlah persoalan yang harus diselesaikan tetapi adalah pusat kapasitas hubungan yang tak terbatas, hidup dengan imajinasi tak terhingga, terbuka, tak tentu dan pada dasarnya merupakan sebuah misteri (Cooperrinder dan Barrett, 2002 dalam Gergen dkk, 2004, Cooperrinder dan Srivastva, 1987 dalam Thatchenkery, 1999). Appreciative Inquiry menggali yang terbaik dari pengalaman individu guna menyediakan sebuah kekuatan untuk mengimajinasikan apa yang mungkin terjadi.
Perbedaan antara kedua pendekatan tersebut terletak pada cara pandang terhadap fenomena yang dihadapi. Pendekatan penyelesaian masalah memandang suatu fenomena sebagai masalah yang harus diperbaiki tanpa mempertanyakan tujuan atau visi dalam tingkatan lebih tinggi. Sementara Appreciative Inquiry memandang suatu fenomena lebih positif, sebagai suatu pijakan untuk mencapai tujuan atau visi yang lebih tinggi.
Secara sederhana, perbedaan tersebut dapat dianalogikan dengan perbedaan pandangan terhadap sebuah gelas yang berisi air setengah penuh, Pendekatan penyelesaian masalah akan mengatakan gelas itu setengah kosong. Pendekatan ini memandang suatu fenomena secara negatif, dan kekurangan (deficit). Kondisi tersebut akan membuat individu dan organisasi merasa kekurangan, merasa lemah, merasa malu dan tidak bangga akan apa yang telah dikerjakan. Lahirlah upaya saling menyalahkan satu sama lain, baik antar individu maupun antar bagian atau unit kerja. Penyelesaian yang ditawarkan adalah perbaikan terhadap fenomena yang yang negatif atau bermasalah tersebut. Perbaikan demi perbaikan terus dilakukan dengan sepenuh energi sehingga kehabisan energi untuk merefleksikan mengenai tujuan dasar atau visi yang akan dicapai.
Sementara itu, Appreciative Inquiry akan mengatakan gelas itu setengah penuh. Pendekatan ini memandang suatu fenomena yang sama secara positif, dan berkecukupan. Individu akan memandang sisi positif diri dan organisasinya, sehingga merasa bangga, percaya diri dan yakin untuk melakukan segala sesuatunya, mengaktualisasikan secara maksimal potensi dirinya. Solusi yang ditawarkan bukannya terfokus pada sisi negatif individu atau organisasi, tetapi berupaya melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk terus meraih visi yang ingin dicapai.
Tindakan yang dilakukan antara pendekatan penyelesaian masalah bisa jadi sama dengan yang dilakukan pendekatan Appreciative Inquiry. Semisal, mengisi gelas yang dikemukakan di awal tadi. Akan tetapi, pengisian gelas itu akan dilandasi semangat yang berbeda. Pendekatan penyelesaian masalah memaknai sebagai upaya mengisi kekurangan, Appreciative Inquiry memaknai sebagai upaya mewujudkan mimpi masa depan yang lebih baik.
Appreciative Inquiry berpijak pada hipotesis heliotropic yaitu organisasi berkembang sebagaimana tumbuhan yang tumbuh berkembang mengarah kepada sesuatu yang memberi mereka kehidupan dan energi. Begitu pula dengan organisasi yang tumbuh berkembang mengarah kepada image paling positif yang diyakini sistem sosial tersebut (Cooperrider, 1990 dalam Bushe, G.R, 2001, Elliott C., 1999).
Sumber :
Burke, R.M. (2001). Appreciative Inquiry: A Literature Review.
Bushe, G.R. (1998). Appreciative Inquiry with Teams.
Bushe, G.R. (2001). Five Theories of Change Embedded in Appreciative Inquiry.
Bushe, G.R. dan Kassam, A.F. (2005). When is Appreciative Inquiry Transformational
Cooperrider, D.L. dan Whitney D. (2001), A positive revolution in change: appreciative inquiry, dalam Robert T. Golembiewski (ed.), The handbook of organizational behavior, second edition, New York: Marcel Decker.
der Haar, D.V. & Hosking, D.M. (2004). Evaluating Appreciative Inquiry: a relational constructionist perspective diterbitkan di Human Relations, 57, 8, 1017-1036, 2004.
Whitney, D., Cooperrider, D.L., Garrison M.E., Moore, J.P. (tanpa tahun). Launching a Positive Revolution.

Minggu, 01 April 2012

Jujutsu

Jujutsu (juga dieja Jujitsu, Ju-Jitsu atau Jiu-Jitsu)adalah sebuah sebutan kolektif untuk beberapa aliran seni beladiri yang berasal dari Jepang. Jujutsu pada dasarnya adalah bentuk-bentuk pembelaan diri yang bersifat defensif dan memanfaatkan "Yawara-gi" atau teknik-teknik yang bersifat fleksibel, dimana serangan dari lawan tidak dihadapi dengan kekuatan, melainkan dengan cara "menipu" lawan agar daya serangan tersebut dapat digunakan untuk mengalahkan dirinya sendiri. Dari seni beladiri Jujutsu ini, lahirlah beberapa seni beladiri lainnya yang mempunyai konsep defensif serupa, yaitu Aikido dan Judo, keduanya juga berasal dari Jepang.

Jujutsu terdiri atas bermacam-macam aliran (Ryuha), namun pada garis besarnya terbagi atas dua "gaya", yaitu tradisional dan modern. Gerakan dari kedua macam "gaya" Jujutsu ini adalah hampir sama, namun jurus-jurus Jujutsu modern sudah disesuaikan dengan situasi pembelaan diri di jaman modern, sedangkan jurus-jurus Jujutsu tradisional biasanya mencerminkan situasi pembelaan diri di saat aliran Jujutsu yang bersangkutan diciptakan. Sebagai contoh, Jujutsu yang diciptakan di jaman Sengoku Jidai (sebelum Shogun Tokugawa berkuasa) menekankan pada pertarungan di medan perang dengan memakai baju besi (disebut Yoroi Kumi Uchi), sedangkan yang diciptakan di jaman Edo (sesudah Shogun Tokugawa berkuasa) menekankan pada beladiri dengan memakai pakaian sehari-hari (Suhada Jujutsu).

Teknik-teknik Jujutsu pada garis besarnya terdiri atas atemi waza (menyerang bagian yang lemah dari tubuh lawan), kansetsu waza/gyakudori (mengunci persendian lawan) dan nage waza (menjatuhkan lawan). Setiap aliran Jujutsu memiliki caranya sendiri untuk melakukan teknik-teknik tersebut diatas. Teknik-teknik tersebut lahir dari metode pembelaan diri kaum Samurai (prajurit perang jaman dahulu) di saat mereka kehilangan pedangnya, atau tidak ingin menggunakan pedangnya (misalnya karena tidak ingin melukai atau membunuh lawan).

Aliran Jujutsu yang tertua di Jepang adalah Takenouchi-ryu yang didirikan tahun 1532 oleh Pangeran Takenouchi Hisamori. Aliran-aliran lain yang terkenal antara lain adalah Shindo Yoshin-ryu yang didirikan oleh Matsuoka Katsunosuke pada tahun 1864, Daito-ryu yang didirikan oleh Takeda Sokaku pada tahun 1892, Hakko-ryu yang didirikan Okuyama Ryuho pada tahun 1942, dan banyak aliran lainnya.

Di Indonesia, ada beberapa perguruan Jujutsu/Ju-Jitsu yang cukup populer, selain perguruan Institut Jiu-Jitsu Indonesia yang didirikan oleh Bp. Sitompul, juga dapat dijumpai perguruan PORBIKAWA (Persatuan Beladiri Ishikawa) yang didirikan oleh Master Ishikawa (dan diteruskan oleh murid utama beliau, Bp. Tan Sing Tjay), perguruan Jiujitsu Club Indonesia (JCI) yang didirikan oleh Bp. Ferry Sonneville pada tahun 1953, perguruan Goshinbudo Jujutsu Indonesia (GBI) club yang didirikan oleh Bp. Ben Haryo pada tahun 1997, perguruan Take Sogo Budo yang didirikan oleh Bp. Hero Pranoto, dan perguruan Samurai Jujutsu Indonesia (SJJI) yang didirikan oleh Bp. Budi Martadi.

Perguruan Goshinbudo Jujutsu Indonesia (GBI) berafiliasi dengan JKF-Wadokai (beraliran Wado) dan Kokusai Dentokan Renmei (beraliran Hakko-ryu) ,sedangkan Samurai Jujutsu Indonesia (SJJI) berafiliasi dengan Kokusai Jujutsu Renmei

Kedua perguruan diatas beraliran Jujutsu tradisional/murni, karena gerakannya didasarkan pada teknik-teknik Jujutsu Jepang sesuai aslinya, tanpa perubahan atau inovasi lokal dari anggota-anggota yang ada di Indonesia. Di perguruan GBI misalnya, diajarkan waza (teknik) yang berasal dari Hakko-ryu Jujutsu, Shindo Yoshin-ryu Jujutsu dan Ryoishinto-ryu Jujutsu, Sedangkan di perguruan SJJI, diajarkan teknik dari Hontai Takagi Yoshin-ryu Jujutsu, Asayama Ichiden-ryu Jujutsu dan beberapa aliran lainnya.

Ciri khas Jujutsu tradisional antara lain adalah tidak memiliki format pertandingan/kompetisi, serta masih menjalin hubungan dengan hombu dojo (dojo induk) yang ada di negara asal Jujutsu, yaitu Jepang. Sedangkan Jujutsu modern (seperti Gracie Jiu-Jitsu dari Brazil) biasanya menekankan pada pertandingan/kompetisi dan sudah tidak memiliki hubungan dengan negara asalnya.

Beberapa orang ahli Jujutsu di luar Jepang ada yang mengembangkan aliran seni beladirinya sendiri, yang kemudian diberi nama Jujutsu untuk menjelaskan bahwa walaupun aliran tersebut diciptakan diluar Jepang, namun awalnya berasal dari beladiri Jepang. Beladiri Ketsugo Ju-Jitsu misalnya, diciptakan sendiri oleh Prof. Harold Brosious dari USA setelah mempelajari Jujutsu Jepang dan melakukan berbagai pengembangan. Demikian juga dengan Small Circle Ju-Jitsu yang diciptakan oleh Prof. Wally Jay.