Jumat, 22 April 2011

Tanggung Jawab

Tema : Manusia dan Tanggungjawab

Manusia bertanggungjawab terhadap tindakan mereka. Manusia menanggung akibat dari perbuatannya dan mengukurnya pada berbagai norma. Di antaranya adalah nurani sendiri, standar nilai setiap pribadi. Norma-norma nilai ini dapat dibentuk dengan berbagai macam cara.

 1.Tanggungjawab dan Individu
Pada hakikatnya hanya masing-masing individu yang dapat bertanggungjawab. Hanya mereka yang memikul akibat dari perbuatan mereka. Oleh karenanya, istilah tanggungjawab pribadi atau tanggungjawab sendiri sebenarnya “mubajir”.

Suatu masyarakat yang tidak mengakui bahwa setiap individu mempunyai nilainya sendiri yang berhak diikutinya tidak mampu menghargai martabat individu tersebut dan tidak mampu mengenali hakikat kebebasan.  
                                                                                         Friedrich August von Hayek


Semua bentuk dari apa yang disebut dengan tanggungjawab kolektif mengacu pada tanggungjawab individu. Istilah tanggungjawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi tanggungjawab itu sendiri.

Dalam tanggungjawab politis sebuah masalah jelas bagi setiap pendelegasian kewenangan (tanggungjawab). Pihak yang disebut penanggungjawab tidak menanggung secara penuh akibat dari keputusan mereka. Risiko mereka yang paling besar adalah dibatalkan pemilihannya atau pensiun dini. Sementara sisanya harus ditanggung si pembayar pajak. Karena itulah para penganut liberal menekankan pada subsidiaritas, pada keputusan-keputusan yang sedapat mungkin ditentukan di kalangan rakyat yang notabene harus menanggung akibat dari keputusan tersebut.

2. Tanggungjawab dan kebebasan
Kebebasan dan tanggungjawab tidak dapat dipisahkan. Orang yang dapat bertanggungjawab terhadap tindakannya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya hanyalah orang yang mengambil keputusan dan bertindak tanpa tekanan dari pihak manapun atau secara bebas. Liberalisme menghendaki satu bentuk kehidupan bersama yang memungkinkan manusianya untuk membuat keputusan sendiri tentang hidup mereka. Karena itu bagi suatu masyarakat liberal hal yang mendasar adalah bahwa setiap individu harus mengambilalih tanggungjawab. Ini merupakan kebalikan dari konsep sosialis yang mendelegasikan tanggungjawab dalam ukuran seperlunya kepada masyarakat atau negara.

Kebebasan berarti tanggungjawab; Itulah sebabnya mengapa kebanyakan manusia takut terhadapnya.
                                                                                                       George Bernard Shaw


Persaingan yang merupakan unsur pembentuk setiap masyarakat bebas baru mungkin terjadi jika ada tanggungjawab individu. Seorang manusia baru akan dapat menerapkan seluruh pengetahuan dan energinya dalam bentuk tindakan yang efektif dan berguna jika ia sendiri harus menanggung akibat dari perbuatannya, baik itu berupa keuntungan maupun kerugian.  Justru di sinilah gagalnya ekonomi terpimpin dan masyarakat sosialis: secara resmi memang semua bertanggungjawab untuk segala sesuatunya, tapi faktanya tak seorangpun bertanggungjawab. Akibatnya masih kita alami sampai sekarang.

3. Tanggungjawab sosial
Dalam diskusi politik sering disebut-sebut istilah tanggungjawab sosial. Istilah ini dianggap sebagai bentuk khusus, lebih tinggi dari tanggungjawab secara umum. Namun berbeda dari penggunaan bahasa yang ada, tanggungjawab sosial dan solidaritas muncul dari tanggungjawab pribadi dan sekaligus menuntut kebebasan dan persaingan dalam ukuran yang tinggi.

Untuk mengimbangi “tanggungjawab sosial” tersebut pemerintah membuat sejumlah sistem, mulai dari Lembaga Federal untuk Pekerjaan sampai asuransi dana pensiun yang dibiayai dengan uang pajak atau sumbangan-sumbangan paksaan. Institusi yang terkait ditentukan dengan keanggotaan paksaan. Karena itu institusi-institusi tersebut tidak mempunyai kualitas moral organisasi yang bersifat sukarela.  Orang yang terlibat dalam organisasi-organisasi seperti ini adalah mereka yang melaksanakan tanggungjawab pribadi untuk diri sendiri dan orang lain.

Semboyan umum semua birokrat adalah perlindungan sebagai ganti tanggungjawab.
                                                                                                                  Carl Horber

Pada akhirnya tidak ada yang bertanggungjawab atas dampak-dampak dari penagaruh politik terhadap keamanan sosial. Akibatnya ditanggung oleh pembayar pajak dan penerima jasa.


4. Tanggungjawab terhadap orang lain
Setiap manusia mempunyai kemungkinan dan di banyak situasi juga kewajiban moral atau hukum untuk bertanggungjawab terhadap orang lain.

Secara tradisional keluarga adalah tempat dimana manusia saling memberikan tanggungjawabnya. Si orang tua bertanggungjawab kepada anaknya, anggota keluarga saling tanggungjawab. Anggota keluarga saling membantu dalam keadaan susah, saling mengurus di usia tua dan dalam keadaan sakit.  Ini khususnya menyangkut manusia yang karena berbagai alasan tidak mampu atau tidak mampu lagi bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri secara penuh. Ini terlepas dari apakah kehidupan itu berbentuk perkawinan atau tidak. 

Tanggungjawab terhadap orang lain seperti ini tentu saja dapat diterapkan di luar lingkungan keluarga. Bentuknya bisa beranekaragam.  Yang penting adalah prinsip sukarela – pada kedua belah pihak.  Pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya sendiri tidak boleh digantikan dengan perwalian.


5. Tanggungjawab dan risiko
Dalam masyarakat modern orang berhadapan dengan berbagai risiko. Risiko itu bisa membuat orang sakit dan membutuhkan penanganan medis yang sangat mahal. Atau membuat orang kehilangan pekerjaan dan bahkan harta bendanya.

Ada berbagai cara untuk mengamankan dari risiko tersebut, misalnya dengan asuransi. Untuk itu tidak diperlukan organisasi pemerintah, melainkan hanya tindakan setiap individu yang penuh tanggungjawab dan bijaksana.

Sumber : http://www.kedai-kebebasan.org/publikasi/newsletter/article.php?id=14

Tanggung Jawab Etika

Tema : Manusia dan Tanggungjawab
Fondasi yang membentuk pemikiran untuk melakukan suatu intervensi militer demi kemanusiaan sesungguhnya bersandar pada warisan pemikiran filosofis Emmanuel Levinas tentang etika. Klaim dasar etika Levinasian adalah tentang the self (diri) yang memiliki tanggung jawab terhadap the other (pihak lain).

Dalam karyanya Of God Who Comes to Mind, Levinas (1998) mengatakan, “etika adalah filsafat pertama”. Maksudnya adalah etika berada di tempat pertama sebelum filsafat dibangun. Bagi Levinas, semua pemikiran etika bersumber pada tanggung jawab yang dilakukan terus-menerus, tanpa syarat, dan tak terbatas kepada (dan untuk) other.

Tanggung jawab ini bukanlah pilihan tapi suatu keharusan, juga bukan sesuatu yang kita peroleh melalui sosialisasi atau melalui keputusan sadar untuk menjalani kehidupan moral. Dengan demikian tanggung jawab ini bukanlah keputusan kita, tetapi suatu keputusan yang dibuat untuk kita oleh fakta yang tak terhindarkan tentang hubungan kita terhadap other.

Hubungan dengan other ini sepenuhnya tidak kita ketahui. Menurut Levinas, kita bertanggung jawab pada mereka yang kita tidak tahu, pada mereka yang tidak terkait apapun dengan kita, baik dalam hal keluarga, komunal, atau kesetiaan nasional. Sederhananya, kita tanpa syarat bertanggung jawab atas kehidupan Other, dan ini adalah perintah hidup yang disajikan dunia pada kita.

David Campbell (1998), profesor budaya dan geografi politik dari Durham University, menilai bahwa setiap permasalahan politik itu hanya dapat diselesaikan dengan etika. Menulis tentang Perang di Bosnia, Campbell terpikat dengan konsep tanggung jawab etik Levinasian. Menurut Campbell komunitas internasional memiliki tanggug jawab etik untuk melakukan intervensi politik (militer) demi mencegah terjadinya pembersihan etnis di Bosnia karena hal itu jelas tidak dapat diterima dari sudut pandang kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Dalam spirit yang sama dengan Campbell, Roaxanne Lynn Doty juga ikut menyinggung pentingnya tanggung jawab etik levinasian dalam artikelnya, “Fronteras Compasivas and the Ethics of Unconditional Hospitality” di jurnal Millenium (2006). Artikel tersebut menyoal kaum imigran Amerika Latin dalam melintasi padang pasir di Barat Daya Amerika Serikat yang penuh dengan risiko kematian. Di sini Doty mengamati kiprah organisasi Fronteras Compasivas (FC) yang mendirikan pos-pos air demi tujuan kemanusiaan. Doty menilai penempatan pos-pos air oleh FC di sekitar wilayah gurun merupakan bentuk tanggung jawab etik terhadap kaum imigran yang melintasi kawasan tersebut. Aksi pemberian air itu, kata Doty, merupakan bentuk aplikasi dari radikalisasi teoretik ke praktik politik yang radikal.

Meski dalam kasus yang berbeda, Campbel dan Doty telah menunjukkan pada kita pentingnya mengimplementasikan etika levinasian dalam politik. Tujuanya adalah untuk kemanusiaan: menyelamatkan manusia dari kesulitan atau dari kematian.
Sumber : http://suar.okezone.com/read/2011/04/11/58/444588/tanggung-jawab-etika

Selasa, 19 April 2011

Manusia sebagai Makhluk Susila

Tema : Manusia dan Pandangan Hidup
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Menurut bahasa ilmiah sering digunakan istilah etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Jasi kesusilaan selalu berhubungan dengan nilai-nilai. Pada hakekatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila. Dirjarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. (Dirjarkara, 1978,36-39) nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup.
Hubungan dan kebersamaan dengan sesama manusialah manusia dapat hidup dan berkembang sebagai manusia. Manusia bertindak, tidak sembarang bertindak, melainkan mereka dapat mempertimbangkan, merancang, dan mengarahkan tindakannya. Persoalan mengenai masalah apakah tindakannya baik dan tidak baik, adalah persoalan tentang nilai, persoalan norma, persoalan moral atau susila. Peran pendidikan disini membantu mengarahkan perbuatan anak dalam kehidupannya dimasa mendatang. Dengan pendidikan pula peserta didik dapat tumbuh kesadarannya terhadap nilai, dapat tumbuh suatu sikap untuk berbuat dan mau berbuat selaras dengan nilai, atau berbuat selaras dengan apa yang seharusnya diperbuat. Perbuatan yang selaras dengan nilai itulah yang menjadi inti dari perbuatan yang bertanggung jawab.
Pandangan manusia sebagai makhluk susila atau bermoral, bersumber pada kepercayaan bahwa budi nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan pengabdi norma-norma. Pendirian ini sesuai dengan analisa ilmu jiwa dalam tentang struktur jiwa (das Es, das Ich dan das uber ich). Struktur jiwa yang disebut das Uber Ich (super ego) yang sadar nilai esensial manusia sebagai makhluk susila. Kesadaran susila (sense of morality) tidak dapat dipisahkan dengan realitas sosial, sebab adanya nilai, efektifitas nilai, berfungsinya nilai hanya ada di dalam kehidupan sosial, artinya kesusilaan atau moralitas adalah fungsi sosial. Tiap hubungan sosial mengandung hubungan moral. “Tiada hubungan sosial tanpa hubungan susila, dan tiada hubungan susila tanpa hubungan sosial” (Noorsyam, 1986).
Kodrat manusia sebagai makhluk susila dapat hidup aktif-kreatif, sadar diri dan sadar lingkungan, maka intervensi pendidikan bukan hanya sekedar penanaman kebiasaan atau latihan namun juga memerlukan motivasi dan pembinaan kata hati atau hati nurani yang kelak akan membentuk suatu keputusan. Oleh karena itu pendidikan harus mampu menciptakan manusia susila, dengan mengusahakan peserta didik menjadi manusia pendukung norma, kaidah, dan nilai-nilai susila dan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Pentingnya mengetahui dan menerapkan secara nyata norma,nilai dan kaidah masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mempunyai beberapa alasan, antara lain:
  1. Untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai individu
Setiap individu harus dapat menyesuaikan terhadap kehidupan dan bertingkah laku sesuai norma, nilai, dan kaidah yang berlaku pada masyarakat, agar individu tersebut merasa aman, diterima dalam kelompok masyarakat tersebut.
2.   Untuk kepentingan stabilitas kehidupan masyarakat itu sendiri
Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya memiliki aturan yang berupa norma, nilai dan kaidah sosial yang mengatur tingkah laku individu yang bergabung didalamya. Norma, nilai dan kaidah sosial tersebut merupakan hasil persetujuan bersama demi untuk dilaksanakan dalam kehidupan bersama, demi untuk mencapai tujuan bersama.
Sumber : http://www.infodiknas.com/daspen1/

Pengertian Tentang Paradigma/Pandangan

Tema : Manusia dan Pandangan Hidup

Paradigma, pandangan, persepsi itulah kata bermakna sama yang sering
kita jumpai dalam keseharian. Setiap hari kita tentu memiliki banyak
paradigma/pandangan terhadap sesuatu maupun orang dalam dunia ini.
Tergambar jelas dari bagaimana sebuah respon kita berikan. Begitu
banyaknya sikap dan perilaku yang ditampilan mengkondisikan kehidupan
duniawi yang syarat dengan kompleksitas. Contoh sederhana ketika kita
mendapatkan informasi dari teman tentang seseorang, perilaku atasan
kepada bawahan di kantor, penampilan orang lain, kebiasaan yang
dilakukan orang lain, dan masih banyak lagi stimulus orang lain yang
seringkali merefleksikan sikap dan perilaku kita terhadap kondisi
tersebut. Baik atau buruknya sebuah respon yang kita berikan bergantung
bagaimana persepsi yang berada di otak kepala.

Pahamilah paradigma dan karakter adalah dua sisi yang saling mengikat
satu sama lain. Apa yang kita lihat sangat berkaitan dengan siapa
kita. Menjadi berarti melihat dalam dimensi kemanusiaan. Dan kita tidak
bisa mengubah dapat mengubah cara pandang kita tanpa sekaligus mengubah
keberadaan kita, dan sebaliknya.

Paradigma kita adalah sumber dari mana sikap dan perilaku kita mengalir.
Paradigma sama seperti kacamata, dia mempengaruhi cara kita melihat
segala sesuatu dalam hidup kita. Bila kita melihat sesuatu melalui
paradigma prinsip yang benar, apa yang kita lihat dalam hidup akan
berbeda secara dramatis dengan apa yang kita lihat melalui paradigma
dengan pusat yang lain.

Sementara kita mengembangkan paradigma yang memberdaya kita untuk
melihat melalui lensa kepentingan ketimbang kegentingannya, kita akan
meningkatkan kemampuan kita untuk mengorganisasi dan melaksanakan setiap
minggu dari hidup kita di sekitar prioritas kita yang lain, untuk
menjalani apa yang kita katakan. Kita tidak akan bergantung pada orang
lain atau benda apa pun untuk manajemen yang efektif atas hidup kita.

Sumber : http://www.gsn-soeki.com/wouw/

Sejarah Hak Asasi Manusia dalam Islam

Tema : Manusia dan Keadilan
Apabila kita berbicara tentang sejarah HAM, maka hal ini senantiasa mengenai konsepsi HAM menurut versi orang-orang Eropa/Barat, sebagaimana telah di bahas di muka. Padahal kalau kita mau bicara jujur, sesungguhnya agama Islam telah mendominasi benua Asia, Afrika, dan sebagian Eropa selama beratus-ratus tahun lamanya dan telah menjadi faktor penting bagi kebangkitan bangsa-bangsa Eropa (Luhulima, 1999). Tetapi fakta historis seperti ini jadinya diabaikan mereka, sesudah orang-orang Islam ditaklukkan dalam perang Salib terakhir (abad 14-15) di Eropa, hingga pasca perang dunia kedua (1945).

Menurut Ismail Muhammad Djamil (1950), fakta telah membuktikan, bahwa risalah Islam (sejak permulaannya kota suci Mekah sudah memasukkan hak-hak asasi manusia dalam ajaran-ajaran dasarnya bersamaan dengan penekanan masalah kewajiban manusia terhadap sesamanya .

Oleh karenanya, kita dapat menemukan di berbagai surat dalam Kitab Suci Al Qur`an yang diturunkan pada awal-awal periode Mekah, yang berbicata tentang pengutukan terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berlaku pada masa itu. Al Qur`an tidak hanya mengutuk berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi pada masa itu, tetapi juga memberikan motivasi secara positif kepada manusia untuk menghargai hak-hak tersebut.

Hal ini sebagaimana difirmankan Allah S.W.T :

"Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh" (Q.S. At-Takwir : 8-9)

"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin" (Q.S. Al-Ma`un : 1-3)

"Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan" (Q.S. Al-Balad : 12-13)

Nabi Muhammad S.A.W. yang kehidupannya merupakan praktik nyata dari kandungan Al-Qur`an, sejak awal kenabiannya telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hak-hak asasi manusia ini. Setelah beliau hijrah ke kota Madinah dan mendirikan secara penuh suatu negara Islam sesuai dengan petunjuk Illahi, maka beliau segera menerapkan program jangka panjang untuk menghapus segala bentuk tekanan yang ada terhadap hak-hak asasi manusia.

Nabi Muhammad S.A.W. telah mengadakan berbagai tindakan sebagaimana telah ditetapkan dalam Al Qur`an yang menghendaki terwujudnya pelaksanaan hak-hak asasi mansia. Selain itu, beliau telah memproklamasikan kesucian hak-hak asasi manusia ini untuk segala zaman ketika berkhutbah di depan kaum muslim pada waktu haji wada` (perpisahan), yakni sebagaimana diriwayatkan dalam H.R. Muslim ("Kitab al-Hajj"), sebagai berikut :

"Jiwamu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah sesuci hari ini. Bertakwalah kepada Alloh dalam hal istri-istrimu dan perlakuan yang baik kepada mereka, karena mereka adalah pasangan-pasanganmu dan penolong-penolongmu yang setia. Tak ada seorang pun yang lebih tinggi derajatnya kecuali berdasarkan atas ketakwaan dan kesalehannya. Semua manusia adalah anak keturunan Adam, dan Adam itu diciptakan dari tanah liat. Keunggulan itu tidak berarti orang Arab berada di atas orang nonArab dan begitu juga bukan nonArab di atas orang Arab. Keunggulan juga tidak dipunyai oleh orang kulit putih lebih dari orang kulit hitam dan begitu juga bukan orang kulit hitam di atas orang kulit putih. Keunggulan ini berdasarkan atas ketakwaannya"

Kedudukan penting HAM sesudah wafatnya Rosulullah S.A.W. dan diteruskan oleh Khulafa ar-Rosyidin, serta sistem kekuasaan Islam berganti dengan monarki. Di sini HAM dalam Islam tetap mendapatkan perhatian luar biasa masyarakat Islam. HAM dalam Islam bukanlah sifat perlindungan individu terhadap kekuasaan negara yang terbatas, namun merupakan tujuan dari negara itu sendiri untuk menjaga hak-hak asasi manusia terutama bagi mereka yang terampas hak-haknya. Jadi, setiap prinsip dasar pemerintahan Islam pada hakikatnya adalah berlakunya suatu praktik usaha perlindungan dari terjadinya pelanggaran HAM. Kini Islam telah memberikan sinar harapan bagi umat manusia yang menderita dengan cara memberikan, melaksanakan, dan menjamin respek terhadap hak-hak asasi manusia itu.
Sumber : HAK ASASI MANUSIA MENURUT ISLAM
Oleh : ARIEF ACHMAD , SMAN 21 Bandung

Hukum dan Keadilan sebagai Sokoguru Peradaban

Tema : Manusia dan Keadilan
Pendekatan kebahasaan yang cukup jauh di atas itu kiranya dapat membantu memperjelas pandangan-pandangan dasar masyarakat yang dijiwai oleh semangat ajaran agama. Sebab banyak sekali kejelasan tentang suatu sistem konsepsual yang dapat diperoleh dari pemahaman yang tepat terhadap kata-kata kunci jaringan peristilahannya. Pengetahuan tentang sesuatu didapatkan antara lain dengan memahami secara baik deretan nomenklaturnya.
Dari uraian di atas itu telah tampak hubungan antara agama dan politik, yaitu hubungan pengawasan dari atas oleh agama terhadap wilayah kehidupan sosial-politik di bawahnya, sehingga tetap dibimbing oleh pertimbangan akhlak yang mulia. Dengan demikian kegiatan duniawi itu memiliki pijakan etis yang kukuh, karena dikaitkan dengan pandangan hidup yang paling mendasar, yaitu keimanan.
Pembahasan kebahasaan di atas juga menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat beradab. Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon, al-insanu madaniyun bi al-thab'i), sehingga tidak mungkin hidup dengan baik dalam isolasi. Dan persyaratan kehidupan sosial ialah adanya peraturan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Peraturan itu dapat berupa ajaran keagamaan yang bersumber dari wahyu Ilahi, dapat pula dari hasil perjanjian antara sesama anggota masyarakat. Masyarakat beradab harus menghormati dan menaati perjanjian-perjanjian itu, sama dengan keharusan menghormati dan mentaati perjanjian antara manusia dengan Tuhan, yaitu ajaran agama. Itu sebabnya dalam al-Qur'an ada peringatan bahwa kezhaliman tiranik akan muncul dari orang yang gaya hidupnya egoistis, kehilangan kesadaran sosial karena merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak perlu kepada orang lain.Sikap-sikap mengabaikan dan melanggar hukum serta aturan adalah tiranisme (thughyan) yang dalam berbagai kisah dalam al-Qur'an digambarkan sebagai permusuhan kepadaAllah.
Dalam hal keteguhan berpegang kepada hukum dan aturan itu masyarakat Madinah pimpinan Nabi s.a.w. telah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada siapa pun agar menunaikan amanat-amanat yang diterima dan menjalankan hukum aturan manusia dengan asli, masyarakat Madinah adalah masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Kepastian itu melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap, tanpa kuatir akan berakhir dengan hasil yang berbeda dari harapan secara merugikan. Kepastian hukum itu pangkal dari paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama dalam kewajiban dan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu, satu dari yang lain.
Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil "tanpa pandang bulu" banyak ditegaskan dalam Kitab Suci, bahkan, disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat. Dan Nabi juga menegaskan bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika "orang kecil" melanggar pasti dihukum, sedangkan bila yang melanggar itu "orang penting" maka dibiarkan berlalu.
Dalam rangka menegakkan aturan dan hukum atas semua warga masyarakat Madinah itu, Nabi s.a.w. juga diperintahkan Allah untuk mendorong dan mewajibkan kelompok-kelompok non-Muslim melaksanakan ajaran hukum mereka, sesuai dengan prinsip pluralisme dan otonomi kelompok-kelompok sosial yang beliau kembangkan. Maka kaum Yahudi warga Madinah diwajibkan menegakkan hukum Taurat, demikian pula kaum Nasrani dengan Injil mereka, disertai penegasan bahwa jika mereka tidak melakukan hal itu, mereka tidaklah beriman (kepada agama mereka sendiri). Berkenaan dengan ini menurut Ibn Taymiyah, kaum Salaf bahkan berpendapat bahwa ketentuan hukum dan ajaran dalam kitab-kitab suci yang terdahulu tetap berlaku untuk umat Islam, selama tidak jelas-jelas ketentuan-ketentuan itu telah diganti atau dihapus oleh ajaran berikutnya.Bahkan konsep tentang "hapus-menghapuskan" ini, menurut Ibn Taymiyah, tidak hanya terjadi dalam konteks deretan datangnya agama-agama, tapi juga dalam konteks perkembangan dalam agama itu sendiri.
Sumber : Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA
Penerbit Yayasan Paramadina